Takdir
penyair adalah memecahkan setiap lembar kaca, agar setiap wajah menemukan yang
lain selain wajahnya sendiri ketika menatap cermin.
Menerjemahkan
angin, bukan sekedar udara bergerak saat mengganti cuaca. Suara angin adalah
nyanyian bersahutan antara daun daun dan ranting ranting, pecakapan serangga
dan burung burung pemangsanya, rayuan gelombang samudra untuk pasir dan karang,
dan gema takbir dari semua bibir yang gemetar mengenal takdir.
Takdir penyair
membunuh tubuh, membangkitkan rindu.
“Bagaimana
mungkin merindu bagi yang tak bertubuh,” syairnya mengeluh. Tak berhenti meski
tubuh penyair telah terkubur waktu, menjadi debu. Syair syairnya menjelma
hantu. Duduk tanpa tubuh di atas sebongkah batu. Tak menunggu, namun selalu ada
tubuh tubuh terjatuh, kepala kepala memar,
mata mata sembap, ketika sengaja atau tak sengaja tersentuh dengan sesuatu yang
seperti hantu.
“Sebaiknya
syair syair menyingkir, jauh jauhlah dari takdir penyair,” bisik pecahan
cermin, terdengar berulang ulang, serupa zikir tak berujung amin*