Rabu, 24 Juni 2015

kalam

Takdir penyair adalah memecahkan setiap lembar kaca, agar setiap wajah menemukan yang lain selain wajahnya sendiri ketika menatap cermin.
Menerjemahkan angin, bukan sekedar udara bergerak saat mengganti cuaca. Suara angin adalah nyanyian bersahutan antara daun daun dan ranting ranting, pecakapan serangga dan burung burung pemangsanya, rayuan gelombang samudra untuk pasir dan karang, dan gema takbir dari semua bibir yang gemetar mengenal takdir.
Takdir penyair membunuh tubuh, membangkitkan rindu.
“Bagaimana mungkin merindu bagi yang tak bertubuh,” syairnya mengeluh. Tak berhenti meski tubuh penyair telah terkubur waktu, menjadi debu. Syair syairnya menjelma hantu. Duduk tanpa tubuh di atas sebongkah batu. Tak menunggu, namun selalu ada tubuh tubuh terjatuh, kepala kepala  memar, mata mata sembap, ketika sengaja atau tak sengaja tersentuh dengan sesuatu yang seperti hantu.
“Sebaiknya syair syair menyingkir, jauh jauhlah dari takdir penyair,” bisik pecahan cermin, terdengar berulang ulang, serupa zikir tak berujung amin*