Kulihat kau
menggenggam setangkai kembang gula. Agar aku tersenyum senang sesaat sebelum
lumer. Layang layangmu mematuki awan, sendirian, benangnya terhubung pada
sebuah kaleng bekas wadah permen. Tidakkah hidup terlalu manis hanya untuk dituliskan
pada sebuah siang yang tak sabar. Di sebuah lapangan yang kusebut padang,
rumput kering meranggas, debu adalah kilau jubah di tiang lampu.
Masa depan
atau masa silam, kau tak menjawab pertanyaan. Sebongkah gula batu, manis, bening dan padat, untuk lidah, mata dan rongga dada. Kutawarkan sebagai ganti kembang gulamu kutanam,
layang layangmu kubebaskan. Kau mengerti aku sering berkhayal jadi peri, bahkan
di siang hari. Sementara kau tak pernah letih mengembalikan setiap tetes
mataair kepada awan.
Di lapangan,
di seberang pemakaman, dekat tempat pembuangan sampah, sekawanan ayam mengais berkah, dua ekor kucing saling memandang. Beberapa ekor kambing
berlarian, beberapa yang lain berloncatan. Waktu mendekap kepalaku, menahanmu di
situ. Di kepalaku yang hanya satu, kembang gulamu menumbuhkan berhelai helai rambutku. Hitam, coklat, kelabu dan putih, tak terhitung, semuanya wangi.Aku bernyanyi sambil menunggu kau mengejutkanku, kautumbuhkan rambut merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, di kepalaku*