Rabu, 30 Januari 2013

hahaha

Seringnya aku kehabisan akal bagaimana cara pantas menuliskan rindu.
Kokoh bagai batu, berserakan di sepanjang jalanku. Tidak menghalangi langkahku, hanya menggelitik telapak kaki sesekali. Membuatku tersandung atau terpeleset sesekali pula. Menciptakan tawa untuk kecerobohan indah. Rindu membatu. Batu merindu. Yang mana sebenarnya aku. Bukan padamu aku berkata. Ketiadaan teramat megah.
Semua rumah tersususn dari batu di balik dindingnya. Kebanyakan rinduku membangun istana, bukan cuma satu, tapi dua, tiga, empat. Sebelum selesai aku berhitung, mata kakiku terantuk lagi. Menciptakan tawa untuk kecerobohan indah. Sama sekali tak kenal lelah. Lima, enam, tujuh, aku tersungkur. Memar di lututku berwajah bunga. Aku sangat ingin tertawa, keras, biar gaduh dinding istana memantulkan gema. Delapan, sembilan, istana tumbuh semakin megah. Aku berjalan terpincang pincang di taman bunga, kembang kembang mekar dari memar.
Aku kehilangan akal. Batu batu bersahutan meneriakkan namanu. Lebih dari sepuluh istana, semua dindingnya menggemakan tawa. Untuk kecerobohan indah*