Lalu ia
terjaga di dada yang asing, yang penuh pecahan piring. Mendapati gandum telah
dituai. Memanggil nama yang pernah diberikan kedua orang tuanya, atau mungkin
seekor kuda betina, yang berpacu kencang. Berlomba dengan angin menuju batas
bukit dan langit.
Jiwa adalah
adalah tuan, tubuh adalah tunggangan. Seorang tuan yang menyayangi binatang
tunggangannya tidak keberatan tersesat, terjatuh, terluka, kelelahan bersama
binatang tunggangannya. Ia tahu petualangan cuma sehalaman kertas yang cemas
akan kesia siaan. Maka berpaculah ia ke mana tunggangannya berkehendak.
Meneriakkan semangat dan kerinduan pada tempat asal dan gairah untuk menjumpai
mahluk lain yang sejenis.
Apakah
menyayangi bisa terbagi dua cara, benar dan salah. Tuan tuan punya pendapat masing
masing yang saling tidak peduli. Kalaupun caranya benar, tunggangannya mungkin
jinak dan berumur panjang. Kalau salah, tunggangannya bisa jadi liar dan
menanggung resiko mati muda.
Tidak ada sejengkal
tanahpun yang bisa memastikan, apakah binatang tunggangan yang terkurung dalam
kandang lebih merasa puas ketimbang binatang tunggangan yang bebas mengelana di
alam liar.
Satu
kepastian, tuan tuan yang menyayangi binatang tungganngannya kelihatannya tidak
pernah merasa kesepian di sepanjang jalannya*