Jumat, 18 Januari 2013

congklang



Lalu ia terjaga di dada yang asing, yang penuh pecahan piring. Mendapati gandum telah dituai. Memanggil nama yang pernah diberikan kedua orang tuanya, atau mungkin seekor kuda betina, yang berpacu kencang. Berlomba dengan angin menuju batas bukit dan langit.
Jiwa adalah adalah tuan, tubuh adalah tunggangan. Seorang tuan yang menyayangi binatang tunggangannya tidak keberatan tersesat, terjatuh, terluka, kelelahan bersama binatang tunggangannya. Ia tahu petualangan cuma sehalaman kertas yang cemas akan kesia siaan. Maka berpaculah ia ke mana tunggangannya berkehendak. Meneriakkan semangat dan kerinduan pada tempat asal dan gairah untuk menjumpai mahluk lain yang sejenis.
Apakah menyayangi bisa terbagi dua cara, benar dan salah. Tuan tuan punya pendapat masing masing yang saling tidak peduli. Kalaupun caranya benar, tunggangannya mungkin jinak dan berumur panjang. Kalau salah, tunggangannya bisa jadi liar dan menanggung resiko mati muda.
Tidak ada sejengkal tanahpun yang bisa memastikan, apakah binatang tunggangan yang terkurung dalam kandang lebih merasa puas ketimbang binatang tunggangan yang bebas mengelana di alam liar.
Satu kepastian, tuan tuan yang menyayangi binatang tungganngannya kelihatannya tidak pernah merasa kesepian di sepanjang jalannya*