Jumat, 11 Januari 2013

tentang kita

Percakapan paling hangat terjadi di musim salju. Membeku di dalam mataku. Serupa tanah, pelan kemudian terkubur. Hutan dan kota menjadi menyilaukan dengan warna putih cemerlang. Sesekali mencoba memantulkan warna langit, warna batu safir dan tirai tirai istana. Kata kata bersahutan nyaring. Padahal suara suara berbunyi lebih halus dari desiran rambut.
Menunggu bukan tentang waktu. Hangat nafasmu saja.
Kau jangan jadi laut meskipun aku tenggelam di situ.
Laut tidak pernah seluruhnya beku.
Mestinya gelas gelas melayang dekat tanganku dan tanganmu, menunggu dahaga memilih kita.
Tanpa alas, tanpa meja.
Salju yang berjatuhan di dalam mata, tidak mengotori ambang pintu sebagai jejakmu.
Aku mencintai kemarahanmu, keputus asaanmu, kehilanganmu, kubilang seperti salju di dalam mataku. Bintang bintang berenda, para malaikat menyulamnya dari benang sutra yang telah digosok permata.
Kau tahu segala yang tak kusembunyikan. Bukan tentang rindu.
Percakapan mencair di musim semi, membasahi bibir. Rumput dan kelopak kelopak bunga. Ngengat dan kupu kupu, yang satu menempel tanpa sengaja di lengan mantelmu, yang lain hinggap tanpa kehendak di lututmu. Aku diam, mendengar diammu. Sungguh tak sedikitpun tanah mengenang salju yang pernah menyelimutinya sepenuh hati. Seperti seorang ibu menyelimuti bayinya, mendekapnya, menatap matanya, menemukan semua yang tak ada tumbuh besar, misalnya telaga atau surga atau sebuah kata*