Anak anak
manusia yang terlahir dari sarang lebah. Manis dan menyehatkan, berdengung
terus menerus serupa binatang pembuat sarangnya. Berisik, aku memakinya tidak
dengan kata kata kasar. Katika kudekati anak anak manusia yang terlahir dari
sarang lebah ternyata juga bisa menyengat, menciptakan memar dan bengkak
bengkak di sembarang tempat yang dihinggapinya ketika mereka kesal atau sedang
nakal.
Anak anak
manusia yang terlahir dari pohon tempat sarang lebah tergantung. Tawar dan
tajam, senyap serupa dahan. Bisu, aku menuduhnya tak acuh. Melukai induknya
dengan benda tajam, pipih dan terbuat dari logam. Kupahat nama nama pada dada
dan lengannya agar ia mengenal dunia. Ia tidak mengelak, bergeming dengan
keheningan. Aku tidak yakin apakah ia pernah berkata, pantaskah disebut luka
jika tak ada darah dan rasa perih mengalir.
Anak anak
manusia yang terlahir dari domba. Anak anak manusia yang terlahir dari bukit.
Anak anak manusia yang terlahir dari sepasang orang tua. Anak anak manusia yang
terlahir dari jam dinding. Mereka semua juga punya cerita masing masing, yang
suatu waktu mungkin akan kudengar kemudian kutuliskan untuk anak anak manusia
yang tidak mengenal nenek moyangnya,
tidak pernah belajar teori evolusi, dan tidak punya kertas dan alat tulis dan
cermin untuk menggambar dan mengenal wajahnya.
Anak anak
manusia yang terlahir dari lorong gelap dan lembab beraroma asam, aku pura pura
tidak ingat namanya. Yang melahirkan anak anak manusia yang tidak mengenal
dirinya, tidak ingin mendengar ceritanya*