Jumat, 18 Januari 2013

senirupa



Anak anak manusia yang terlahir dari sarang lebah. Manis dan menyehatkan, berdengung terus menerus serupa binatang pembuat sarangnya. Berisik, aku memakinya tidak dengan kata kata kasar. Katika kudekati anak anak manusia yang terlahir dari sarang lebah ternyata juga bisa menyengat, menciptakan memar dan bengkak bengkak di sembarang tempat yang dihinggapinya ketika mereka kesal atau sedang nakal.
Anak anak manusia yang terlahir dari pohon tempat sarang lebah tergantung. Tawar dan tajam, senyap serupa dahan. Bisu, aku menuduhnya tak acuh. Melukai induknya dengan benda tajam, pipih dan terbuat dari logam. Kupahat nama nama pada dada dan lengannya agar ia mengenal dunia. Ia tidak mengelak, bergeming dengan keheningan. Aku tidak yakin apakah ia pernah berkata, pantaskah disebut luka jika tak ada darah dan rasa perih mengalir.
Anak anak manusia yang terlahir dari domba. Anak anak manusia yang terlahir dari bukit. Anak anak manusia yang terlahir dari sepasang orang tua. Anak anak manusia yang terlahir dari jam dinding. Mereka semua juga punya cerita masing masing, yang suatu waktu mungkin akan kudengar kemudian kutuliskan untuk anak anak manusia yang  tidak mengenal nenek moyangnya, tidak pernah belajar teori evolusi, dan tidak punya kertas dan alat tulis dan cermin untuk menggambar dan mengenal wajahnya.
Anak anak manusia yang terlahir dari lorong gelap dan lembab beraroma asam, aku pura pura tidak ingat namanya. Yang melahirkan anak anak manusia yang tidak mengenal dirinya, tidak ingin mendengar ceritanya*