Selasa, 22 Januari 2013

animal instinct

Anakku yang belum tamat sekolah dasar tidak ingin sekolah, ia katakan dengan hati hati, tulus dan penuh harap aku mau mengerti. Seorang ibu cenderung tahu saat saat anaknya mengatakan sesuatu yang lebih berharga dari pada, aku ingin dibelikan i pad atau ice cream.
Kalau seorang manusia bisa merasa sedih, cemas sekaligus bahagia dan lega, itulah yang kusangka sedang terjadi berkaitan pada naluri keibuanku.
Semua teori psikologis yang menyatakan bahwa jiwa jiwa muda sangat peka dan lebih banyak terbentuk akibat sikap ketimbang perkataan ternyata ada benarnya.
Seorang ibu yang lebih mencintai hutan dan lereng gunung dari pada ruang kelas dan kampus tidak layak berharap anaknya akan tumbuh dewasa menjadi seorang sarjana kemudian sukses sebagai pialang saham, akuntan, atau menduduki jabatan tinggi apapun di perusahaan manapun.
Aku merasa seolah olah sedang membicarakan seorang tetangga.
Mereka, yang pernah kubaca entah di mana, menyebutkan tentang naluri keibuan yang akan membuat seorang perempuan mampu menuntun anaknya ke jalan yang benar. Ini malah kurasa lebih cocok untuk sejenis binatang ternak dan tunggangan, misalnya kuda.
Adakah ibu lain yang meragukan naluri keibuannya sendiri, waktu mesti menjawab pertanyaan anaknya,"mama boleh gak aku gak sekolah?"
Aku bimbang. Jelasnya terlintas dalam pikirku, mungkin lebih baik kalau anakku tak punya seorang ibu macam aku. Dengan begitu sangat mungkin anakku tak akan mengatakan apa yang ditanyakannya. Pertanyaan yang bikin aku merasa menjadi seorang ibu dengan naluri keibuan yang mengharuskan aku menjawab semua pertanyaan anakku, tak peduli sebanyak apapun pertanyaannya, tak peduli kalaupun perlu waktu seumur hidupku untuk bisa menjawabnya*