Rabu, 09 Januari 2013

exit

Pada dasarnya kita berjalan ke arah yang sama. Sambil sekali kali menengok kanan kiri, menemui tubuh tubuh saling menyapa dengan ramah, kadang kadang pura pura menanyakan arah. Atau mencoba mengulur waktu dan merancang peta yang berlagak buta. Tentu saja menyenangkan. Menyesali yang hendak ditinggal pergi, mengingkari yang pasti menghampiri.
"Memangnya bisa apa lagi?"
Tidak. Ini sambal terasi, terong bakar, kacang panjang, mentimun dan daun kemangi, ikan wader yang telah digoreng teramat renyah. Sambil mengunyah, bisa kutanyakan bagaimana situasi jalan di seberang jembatan.
"Kau sungguh menjengkelkan."
Sudah dari sononya. Dari perut kembali ke perut. Tapi, tak ada seorangpun yang sudi ngobrol dengan sesuatu yang terlahir dari anus.
"Tinja dan kita keluar dari lubang sangat berdekatan, cuma beberapa mili saja jarak memisahkan."
Lapar. Lapar. Lapar. Adalah satu satunya resep berumur panjang, sehat.
Seandainya bangsa ikan pandai bicara, mau berbagi ilmu tentang cara menyeberang sungai berarus deras tanpa jembatan. Niscaya bangsa manusia akan lebih mahir berenang atau membangun sarang.
Seperti berang berang. Binatang lucu dan menggemaskan, selain koala, pinguin, jerapah dan banyak lagi yang pernah kita baca dari buku buku yang pernah ditelan ibu. Yang mendongeng setiap malam terbenam dalam air ketuban. Sebelum pecah menghanyutkan kita.
Ke arah yang sama*