Minggu, 13 April 2014

lonceng angin

senyum kekosongan merekah lebar. giginya putih berkilat, berbaris tajam. bila sedang lapar, ia dapat mengunyahku hingga lumat. giginya terlihat kuat dan terawat. aku lewat, bergegas melompat ke arah setumpuk lonceng. menginjak bunyi gemerincing di telapak kakiku. lantas berlalu. berlalu. setibanya di atas batu. udara menyusun kata kata bermakna yang tak terbaca.lebih baik begitu kataku. kupecahkan kesunyian dengan mengetuk gigiku, memakai kuku yang melekat pada jari telunjuk. dan hanya itu. lantas terlalu sibuk mendengarkan alunan nada, menemukan dalih sedang terpaku di atas pintu, berusaha keras menangkap jeda. tidak lama. bergetar kembali. kali ini, kali ini saja, semoga, aku mendengar diriku sendiri mematuhi setiap kehendak kepala yang melintasi batas*