Kamis, 24 April 2014

jeram

lereng gunung berseru, memanggil kabut setiap subuh. tak ada suara azan membangunkan kita. berpelukan sepanjang malam tidak melelahkan. tapi kita harus bergegas melanjutkan perjalanan. puncak gunung memanggil kita. puncak gunung tak akan ke mana mana. kabut selalu mengunjungi lereng gunung pada waktunya. dulu, kau cemas kawah menyemburkan gas beracun, mengantarkan malaikat maut menemukan kita sedang bergandengan tangan, mengacuhkan dunia.
kini, di pesisir ini, azan selalu berbunyi, entah memanggil siapa. kita berbaring menatap langit langit. langit di atas langit langit. ini rumah di dataran rendah. putaran baling baling kipas angin menderu, mengirimkan kesejukan dalam irama konstan. kita berbisik, saling memanggil. tak ada kabut. tak ada kabut akan mencair. setitik air di sudut matamu tidak terjatuh. jariku kering. tapi kita harus membutakan mata atau dibutakan dunia.
tukang loak akan mengunjungi kita besok pagi. setelah botol botol bir merenungi kekosongannya masing masing. kita tertawa, lama. hingga keputusasaan bosan. kecemasan jera. kau lapar. aku terbakar. azan terdiam. langit langit putih, pasir hitam. sepasang mata, sebuah sketsa seluas dunia. kau melukisnya dengan gembira. aku terpana, segumpal kabut meluncur dari lubang hidung, kau dan aku. sepasang kabut bergumul, berlarian ke arah laut*