Kamis, 17 April 2014

*

secangkir kopi instan membuat seorang peramal kehilangan kesanggupan menerawang masa depan. tak ada ampas di dasar gelas. selain itu, kopi tubruk membuatku sakit perut. maka kuserahkan saja nasibku pada asap sigaret. ramalan buruk yang tertulis pada setiap pembungkus sigaret tak sanggup membuatku sakit perut.
hari demi hari berlalu, dan aku mengenal, hanya mengenal banyak keresahan dalam setiap percakapan. satu satunya kepastian, satu satunya kepastian adalah menghembuskan asap. memenuhi udara dengan warna dan pola tidak beraturan yang segera hilang dari pandangan. bila dapat berkata, setiap hembus asap hendak menyampaikan apa. ah, sudahlah manusia, itulah yang kau bisa, melihat, mendengar, merasakan apa saja yang ingin dilihat, didengar, dirasakan. memangnya kau siapa. aku bukan asap. tapi siapa, siapa. bukan peramal. bukan siapa siapa. bukan siapa siapa, itulah. nasib siapa yang kauserahkan. pada siapa. apa yang kaupunya. aku. aku. aku yang dimaksud oleh peringatan pada setiap pembungkus sigaretku. bagaimana mereka mengingatmu, mencemaskan kesehatanmu. mereka mengingat dan mencemaskan kesehatanmu, dan semua manusia yang membaca tulisannya. bukan cuma aku.
dunia ternyata ramah. meskipun tak ada satupun sebatang sigaret yang istimewa. aku, kau, bukan siapa siapa. tak ada peramal yang menemukan nasib kita. bukan siapa siapa tidak mencari apa apa, tidak sengaja jatuh cinta. pasa siapa. bukan siapa siapa*