Senin, 05 Agustus 2013

*

kau perlu seorang pendeta atau ahli agama, atau kau ingin seorang pendamping. nada bicaranya seperti bertanya. aku tidak percaya seseorang yang telah dipilih untuk menyampaikan kepastian eksekusi harus merendahkan diri serupa itu. bertanya kepada terpidana mati tentang keperluan atau keinginan menjelang ajal. aku sengaja diam, untuk melihat kelanjutannya. apakah manusia di hadapanku benar benar merasa lebih beruntung karena tidak tahu atau belum tahu kapan akan menemui maut. atau lebih buruk lagi, manusia tersebut larut, hanyut dalam rasa simpati, tidak berdaya dan berharap tidak sedang berhadapan dengan sesuatu yang hampir pasti. alangkah panjang dan rumit jalan yang mesti ditempuh untuk menjadi manusia yang boleh mendapatkan informasi tentang kematiaannya sendiri, kapan, di mana, bagaimana. aku telah menempuhnya dan tiba di ujung. hadiahnya tak terbeli, tak terganti, setara hukuman mati. kucoba membayangkan apa yang dikerjakan atau dipikirkan oleh orang orang lain yang pernah berada di jalan ini. kiranya cukup sulit, tak ada terpidana mati yang bisa ditanyai dalam keadaan hidup sesudah eksekusi. dan aku berharap menjadi yang pertama, yang terhebat. mendengarkan nasehat dari manusia yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengurus orang lain kurasa sangat menyedihkan. kalau diijinkan aku malah ingin bicara dari hati ke hati dengan salah satu atau semua regu tembak, satu persatu, mereka yang akan menemaniku, mengantarkanku ke dunia yang sama sama belum dikenal, asing sekaligus sangat akrab. kuduga keinginanku tak akan dikabulkan oleh pihak berwenang. pihak berwenang yang kukatakan dengan nada berbeda, yang akan membuat segerombolan pemabuk tertawa terbahak bahak. mereka khawatir kalau percakapan denganku akan mengganggu kejiwaan, melemahkan mental regu tembak yang bertugas membunuhku. memikirkan kemungkinan keadaan macam itu absurd sekaligus menggelikan. dalam hal eksekusi bukuman mati, yang dieksekusi dan eksekutornya menanggung beban sama berat, apakah benar demikian, tak bisa kutanyakan, situasinya menunjukkan gejala ke sana. para algojo sering kali terdiri dari manusia manusia yang dikucilkan dirinya sendiri. aku tahu pasti aku akan mati, anggota regu tembak tidak tahu pasti apakah akan menjadi pajangan atau seorang pencabut nyawa. peluru dari senapan siapa yang akan mengoyak kehidupan. bisakah manusia yang tidak tahu terbebas dari rasa ingin tahu dan tanggung jawab. jika bukan dengan pemegang senjatanya, bagamana dengan senapannya atau pelurunya. aku juga tertarik untuk bicara dengan mereka, apa saja yang akan berada paling dekat di saat saat paling sempurna yang akan segera kujelang. para petugas akan mengira aku sangat tertekan sampai mau curhat dengan benda tak bernyawa. betapa buruknya perkiraan orang orang yang belum tahu bagaimana cara terbaik memandang hidup. sama seperti simpatiku kepada para calon eksekutor, aku juga ingin memahami bagaimana perasaan sepucuk senapan dan sebutir peluru yang mau tak mau mesti berhadapan denganku. sebutiir peluru yang mau tak mau pasrah dilontarkan kuat kuat menembus kulit dan dagingku. bagaimana sebutir peluru harus mengorbankan dirinya menjadi maut, kemudian terperangkap pada tubuhku. pada akhirnya dengan pertimbangan cermat dan hati hati yang hanya bisa didapat pada saat saat menjelang ajal, aku hanya akan meminta beberapa lembar kertas beserta alat tulis kualitas terbaik. untuk membuat jurnal. seseorang yang begitu serius hingga pantas dijatuhi hukuman mati sudah pasti berkepribadian tangguh, tidak cengeng, praktis dan efisien. jenis manusia yang cenderung lebih bersahaja dan matang dari orang kebanyakan. cocoknya membuat jurnal, bukan catatan. mereka seharusnya tahu bedanya. aku bukan gadis remaja yang berniat mengumbar apa yang disebut sebagai isi hati dalam buku diary. jurnal untuk mencatat segala yang penting, segala yang layak diperhatikan dan bermanfaat untuk kehidupan. tak ada yang lebih paham tentang hal hal macam itu selain seseorang yang tahu pasti tentang takdirnya sendirinya. semuanya begitu mengagumkan, kenanganku pada aroma baju tidur ibuku, luka pertamaku, perayaan kemenanganku yang pertama, demam paling parah, dendam, rindu, beberapa ciuman dan makian, kesunyian pelarian, apa saja yang tidak akan kutuliskan dalam jurnal.    
pada waktu yang tepat aku akan berjalan, dan satu satunya yang harus kulupakan adalah siraman rohani yang tidak pada tempatnya, yang mereka berikan dengan harapan aku akan mati dengan tenang. bahkan tanaman saja hanya butuh siraman hujan. sunggub ironis, mereka yang sangat butuh membaca jurnal yang akan kutuliskan, supaya lebih tabah dan diringankan hukumannya. bukan aku. aku tak perlu apa apa, semua sudah diberikan padaku dengan berlimpah, lebih dari yang kuharapkan. manusia pemilik kehidupan sempurna, dengan awal dan akhir tak bercela. sempurna karena kupahami tanpa hasrat dan kehendak mementingkan diri sendiri. aku berjalan ke arah mana tangan tangan gaib menuntunku dengan gagah berani*