Sabtu, 22 Februari 2014

serendipity

mungkin hujan segera turun, mungkin hujan baru saja reda. kelihatannya sama saja. saat bersamamu. kita memang letih. setiap hari berawal tidak pasti. seperti hanya mimpi. tak bertepi. tak memudar ketika tersadar, mungkin tidak sedang tertidur.
aku suka perjalanan, kau juga. kau suka singgah di pinggir jalan mana saja, aku juga. menikmati segala macam hidangan sederhana yang tersedia di warung warung kecil. sebuah trotoar di bawah jembatan layang. beratap dan beralas terpal, di hadapan sepetak rumput yang memisahkan tempat duduk dengan lintasan kereta api. sore hari.
sejuk. aku merasa perlu mengulanginya sesering mungkin, sejuk, memang sejuk. kau dan aku duduk berhadapan. kali ini tak ada meja. kita memegang piring masing masing. menggunakan sendok, melahap sesuap demi sesuap nasi, selada air, kecambah, kemangi, disiram kuah kacang kental. lauknya dadar jagung dan telur mata sapi. ditambah rempeyek teri. dilengkapi dua gelas, satu gelas kopi, satu gelas teh panas. masih ada satu gelas air mineral kemasan yang kita bagi.
adakah yang percaya jika kukatakan, tak ingin kutukar setiap detailnya dengan apa saja yang mungkin lebih hebat. akupun tak percaya. kukira kau juga tak percaya. tak aneh, tak ada seorangpun yang kecewa karena tak ada yang percaya.
kereta api melintas tiga kali. panjang dan bergemuruh, namun tak ada debu. sejuk. hanya sejuk. hidup itu saat ini sejuk. wajah, telapak tangan dan kaki, merasakan sejuk. kau dan aku, tak mengatakan sesuatu yang agung, macam cinta atau bahagia. kau dan aku hanya dua, hidup dan sedang mabuk kesejukan udara. nasinya hangat, bumbu pecelnya sedap, tehnya harum. rumput rumput tak terlihat berayun, tak bergoyang atau mengangguk. seperti kau dan aku, rumput rumput tampak tenang, diam diam menikmati sejuk.mendengarkan percakapan yang tak berhasrat mengubah apapun. senyum dan tawa yang tidak istimewa. seperti biasanya, aku seringkali merasa luar biasa ketika kehilangan banyak kata, kalimat, atau apapun yang mestinya dapat menciptakan kesan mendalam.
seperti biasanya, setelah piring kosong dan gelas setengah penuh. kau dan aku menginginkan sedikit lebih hangat dan pengap. menyulut sebatang sigaret, menghembuskan asap. sejuk. sigaret akhirnya tinggal puntung, saatnya perjalanan berlanjut. seperti biasanya pula, aku belum puas sebelum menemukan alasan lebih hebat dari kau. bersama hembusan terakhir sigaret, kukatakan dengan pongah, pantas ada orang yang menolak nobel. kau cuma tersenyum. sejuk. aku malah tertawa, kau tak tanya kenapa, tapi kalau kau mau tahu, aku bahkan tak dapat menemukan kata kata yang lebih indah dan bermakna untuk beberapa kenyataan pada suatu sore yang belum berlalu. seakan akan matahari tak akan terbenam dan tak hendak terbit. tak ada senja atau fajar akan datang. suatu sore seperti tak mengenal dan terpisah dari segalanya, sejuk. hanya sejuk yang dapat kujadikan sebuah kata. hanya itu. sesaat kemudian.
kau dan aku kembali kepada perjalanan. pulang*