Sabtu, 15 Februari 2014

bukan dunia biasa

aku pantas bersyukur karena tak punya leluhur. tak ada yang berharap aku panjang umur dan berbudi luhur. kelak di alam kubur, tak ada yang bakal memaksaku mandi dan berdandan dua kali sehari, pagi pagi dan sore hari, hanya supaya pantas berdiri menghadap engkong, memberi selamat dengan melipat lengan, mengepalkan kedua telapak tangan, dua kali gerakan naik turun. mama berkata namanya soja, atau pai pai. selamat pagi kong, selamat sore kong. sementara engkong sengaja atau pura pura cuek atau bengong. belakangan aku paham, sepatuh dan sesopan apapun tak akan berharga bagi yang bukan sedarah.
aku pantas bersyukur karena mengenal seekor ikan emas, di dalam guci di kamar mandi. seekor ikan emas dengan sabar menceritakan banyak dongeng, bawang merah dan bawang putih, anak bungsu yang berbakti, bidadari yang jatuh hati pada sulaman ibu petani. ikan emas tak lelah mendongeng sambil berenang pelan mengelilingi guci. membuatku betah berada di kamar mandi. belakangan, setelah ikan emas mati, aku tahu di dalam dagingnya terdapat banyak duri yang tidak melukai, malah bikin ikan emas gemulai menari.
aku pantas bersyukur karena ada seorang lelaki bersahaja yang kupanggil papa. rela bersusah payah mengajariku naik sepeda, menjahitkan tas sekolah dari kain blacu bergambar lucu. papa pintar memainkan harmonika dan gemar membaca. papa sangat suka melihatku pakai kebaya, tak bosan menyuruhku membaca penjebar semangat dan jaya baya. papa yang bangga dengan tanaman obatnya, menyayangi ikan, ayam, kambing dan anjing. papa yang sangat menjengkelkan saat merisaukan nyamuk dan lalat yang beterbangan mngelilingi ruang. belakangan, setelah papa tiada, seorang kerabat bercerita betapa papa tak akan menyerah mengejar seekor nyamuk hingga terusir keluar atau terbunuh, demi aku yang masih bayi.
aku pantas bersyukur karena hidup. kalau tidak hidup mana mungkin kutuliskan segala kalimat kacau balau yang sanggup membuat manusia berpikir, betapa takjubnya, seorang macam aku bisa bisanya merasa mampu menuliskan segala yang kutulis. tak perlu segala kecemasan besar dan kegalauan bermakna untuk menjadi manusia yang merasa dapat menulis apa saja, asal tidak menangis. belakangan, aku lelah, menyerah, mendengar suara gaduh tawa, tangis, canda, dan pertengkaran anak anakku. mau tak mau, bisa tak bisa, suka tak suka, kurasa bukan dunia biasa*