Jumat, 21 Februari 2014

*

entah sudah sifat penjair dan seniman bahwa baginja berlaku ukuran ukuran jang lain dari ukuran biasa, tapi kedjahatan sebagai seniman dilakukan mengenai kesenian adalah kedjahatan jang luar biasa, dan apakah dalam hal ini harus dipisahkan manusia dan seniman ataukah ada kategori tersendiri manusia seniman jang untuknja harus dipakaikan ukuran tersendiri? (H.B.Jassin)
satu kalimat panjang dalam paragraf pertama dari sebuah buku tua.
sangat menarik dan bikin penasaran, meski tidak paham makna utuh kalimat yang sebenarnya. penjair, seniman, sifat, ukuran, kedjahatan, luar biasa, kategori dan manusia. beberapa kata yang layak dimasukkan ke dalam daftar kosa kata yang menimbulkan minat dan hasrat untuk dipahami. masih kuingat bagaimana rasanya ketika pertama kali membacanya. ditambah dengan naluri kekanakan yang sering sok ribut, sok penting, sok tahu, dan penuh imajinasi ngawur. anak sekolah dasar dapat saja membayangkan kedjahatan luar biasa pada kalimat tersebut adalah, membakar buku, merobek lukisan, membuang atau mematahkan sebuah patung, hingga memecahkan jambangan kuno. bayangan yang tidak terlalu ngawur sekaligus tidak betul. beberapa tahun kemudian, ketika duduk di sekolah menengah pertama, ibu guru bahasa indonesia memberikan materi sebuah sajak panjang, kerawang bekasi. teringat dan terpikirlah kembali semua yang pernah kubaca pada sebuah buku tua. menghasilkan semakin banyak tanya, semakin banyak gundah, semakin banyak rasa pedih. mungkin karena suka sajaknya. juga banyak sajak lain yang pernah kubaca dari buku buku tua. ketika mengerjakan tugas menghapal sebuah sajak, samar samar terasa ada yang menyesak dada. tak bisa disembuhkan atau dihibur oleh semua yang ada, hingga hari ini. aku tidak pernah bercita cita menjadi penjair atau seniman, dan tidak pernah merasa menjadi keduanya, hanya saja seringkali kurasakan kesesakan yang sama setiap kali membaca atau teringat bagian akhir dari kalimat panjang di atas, apakah manusia dan seniman harus dipisahkan, atau dipakai ukuran tersendiri. aku tak punya jawaban yang pantas kukatakan, apalagi untuk dituliskan. merasa tidak pantas bicara tentang yang tidak kupahami hingga hari ini. cuma bisa mengulang pertanyaan, benarkah, manusia yang penyair atau seniman harus terpisah dari manusia. dan kenapa pula pertanyaan itu mesti mengakibatkan rasa sesak di dadaku, yang bahkan belum merasa pantas menjadi manusia*