Selasa, 15 Oktober 2013

*

tak ada yang tahu rasanya dosa. ia sudah bertanya ke setiap manusia yang dijumpainya. mereka yang ditanya kebanyakan terkejut, mengerutkan keningnya, mengatupkan bibirnya sebelum menjawab dengan macam macam kalimat yang tidak tepat. tidak tepat maksudnya bukan jawaban. sebagian balik bertanya. sebagian malah mengoceh tak keruan tentang jalan, perbuatan, kebenaran dan kesalahan. sebagian meracau tentang surga atau neraka. ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa tak seorangpun yang bicara tentang surga atau neraka tidak pernah sungguh sungguh berjumpa atau mengunjungi surga dan neraka. ia cuma bertanya bagaimana rasanya dosa. mungkin cuma adam yang bisa menjawabnya. adam pencetus dosa pertama. itupun jika benar benar ada seseorang bernama adam yang konon adalah manusia pertama, kakek moyang semua orang. mungkin juga tidak. seluruh bacaan dan kitab mengatakan adam pernah makan buah pengetahuan, dengan begitu adam pasti tahu bagaimana rasanya. tak ada yang bilang adam pernah mencicipi dan menelan yang namanya dosa. pantas saja tak ada yang tahu rasanya. dosa memang bukan nama sejenis makanan. tapi seringkali disebutkan dosa adalah buah ketidak taatan. ia mulai merangkai kesimpulan kacau dalam benaknya. manusia pintar mengada ada, kemudian berkata kata. jadi bagaimana ia atau orang lain tahu telah berdosa jika tak kenal rasanya dosa.
muncul sebuah prasangka, mungkin dosa macam racun, sesaat sesudah menenggak atau menelannya semua yang hidup segera mati, tanpa sempat ditanyai bagaimana rasanya. tak ada yang bersedia mencicipi racun hanya untuk menceritakan atau menjawab pertanyaan bagaimana rasanya. dari yang sedikit yang pernah meracuni diri kebanyakan berhasil mati. yang tersisa dari sedikit penenggak racun yang gagal mengakhiri hidup terlalu enggan mengingat atau menjelaskan bagaimana rasanya racun. enak saja, coba saja sendiri, begitu pula yang akan dikatakannya seandainya ia sendiri adalah orangnya, yang pernah gagal bunuh diri.
tapi dosa tidak serupa racun. tak ada yang langsung mati sesaat setelah berdosa. dalam bacaan dan kitab kitab, dikatakan tak ada yang tidak berdosa. kecuali sang pencipta yang maha kuasa. yang maha kuasa menciptakan segalanya. akalnya menambahkan, tidak terkecuali dosa, yang tak ada seorangpun bersedia mengatakan rasanya. menciptakan dosa tentu berbeda dengan berdosa. menciptakan cinta tentu berbeda dengan bercinta. kira kira demikian, ia mencoba menyusun kata kata yang memasuki akalnya. telah ada ribuan kata berdesakan di sana, masih saja ada kata kata yang datang dan mencari tempat di dalamnya. ia teringat kerumunan manusia yang sedang menjalankan ibadah, beribu ribu, berjuta juta. di tempat tempat yang disebut suci. ia juga teringat manusia berduyun duyun mengantri pembagian, roti atau daging. berbaris di depan altar atau lapangan. kasihan sekali, akalnya nyaris roboh dipenuhi kata. begitu pula tangisnya, hampir tak tertahan lagi. ia merasa ada untungnya memecahkan ketidak tahuan dengan tangisan, tahu rasanya air mata. sedih dan bahagia.
berdosakah jika tak tahu rasanya dosa. ingusnya meleleh mendekati bibirnya. kalau mau membuka mulut, lidahnya akan mengenal rasanya ingus. ia merogoh kantong celananya, meraih selembar sapu tangan untuk menyeka hidung. ia sudah tahu rasanya ingus. tantu tak ada baiknya untuk mengatakannya kepada siapapun. menimbulkan kesan idiot dan jorok. dosa tidak sama dengan ingus, cepat cepat dikeluarkannya kemungkinan konyol yang mencoba memasuki akalnya. untuk menghapus ingus tidak dibutuhkan penebus. lagi pula dosa bukan cairan kental berwarna pucat dan berasa gurih yang mengalir keluar dari hidung*