Minggu, 30 Juni 2013

"empati n toleransi"

berawal dari ketidak sukaanku pada asap sampah yang dibakar tetangga. asapnya banyak, berbau tak sedap. dengan seenaknya asap memasuki rumah dari pintu, jendela, juga celah lainnya, berputar, melayang layang, memenuhi kamar dan paru paru seluruh penghuni rumahku. tidak bisa kupikirkan alasan bagus untuk memaklumi sikap sang tetangga membersihkan lingkungan dengan cara membakar sampah yang berakibat udara pengap, polusi berat.
hingga suatu hari aku kerasukan roh kebijaksanaan atau keluruhan budi atau cinta kasih, aku tak tahu pasti. dipenuhi oleh perasaan sangat beruntung dan terpuji, kuputuskan alangkah baiknya jika aku bisa berusaha belajar menyukai sang tetangga apa adanya, lengkap dengan kegemarannya membakar sampah beserta segenap asapnya. hal yang mula mula harus kulakukan adalah membiasakan diri dengan asap. yang paling dekat. maka kunyalakan sebatang sigaret, menghisapnya dalam dalam. perjuanganku tidak mudah, terbatuk batuk dan mual, pusing, sesak, rasa pahit di lidah, kutanggung semua demi mencapai tingkatan manusia yang berahlak lebih mulia.
tidak butuh waktu terlalu lama, perjuanganku mulai membuahkan hasil. menghisap berbatang batang sigaret sama sekali tidak sulit, bahkan nikmat. aku dan paru paruku telah berhasil bersahabat dengan asap, yang dulunya kusebut berbau tak sedap, beracun dan menyesakkan. hebatnya, aku bisa tetap menikmati asap sigaret sambil menggerutu tentang sang tetangga yang lagi lagi mengirimkan asap bakaran sampah ke seluruh penjuru rumah.
yaahh, harus kuakui pendanganku tentang sang tetangga dan kegemaran membakar sampah di lingkungan perumahan tidak berubah, tetap menyebalkan, ceroboh, tidak bijaksana.
roh kebijaksanaanlah yang paling mungkin mendekatiku dan menghiburku, tentu saja asap sigaret tidak sama dengan asap sampah yang dibakar tetangga. tenang saja, kaupikir tetanggamu tidak akan lebih murka kalau kau merokok di hadapannya dan menghembuskan asapnya tepat ke arahnya. aku bersyukur, untuk kalimat penuh empati dan toleransi yang baru kudengar, membuatku bertahan dari godaan untuk membakar rumah sang tetangga*