Jumat, 17 Mei 2013

hilal

aku tidak takut mati, katanya sambil menyeduh kopi. kepalanya mengeras menjadi gelas. entah terbuat dari apa sendoknya. pahit, manis, serbuk hitam, kristal putih, berputar dalam pusaran air panas. sedikit tumpah melewati sudut matanya. tidak hitam dan hangat. alangkah tololnya dirimu merasa hidup. pelipisnya berdenyut, ia coba tersenyum, sinis dan putus asa. ia ingin marah kepada siapapun yang mendengarya. ia sendirian, berusaha bicara dengan kehampaan yang berpaling darinya. setelah berucap dengan suara halus, takut atau tidak kau akan mati pada suatu hari. rasa kopi menyerbu lidahnya, membasahi jantungnya.
dunia tak pernah mendengar suaranya, betatapun ia seringkali bertengkar, hampir setiap saat meneriakkan makian sengit kepada orang asing yang selalu menghuni kepalanya. sangat menyebalkan, orang asing itu selalu menawarinya minum kopi seduhannya sendiri. alangkah baiknya kalau bisa menceritakan kemuakkannya kepada seorang kenalan yang tidak akan menanggapinya dengan pandangan iba sebelum dengan hati hati menyampaikan saran agar ia banyak berdoa dan mengerjakan hal hal lebih bermanfaat.
aku tidak takut mati. kalau mau memperpanjang kalimatku, bolehlah kutambahkan, aku tidak akan menyukai aroma tubuhku sendiri sesudah mati. seribu kali mandi ditambah seribu liter parfum tak akan sanggup mengharumkan bangkai. sejak jaman dahulu manusia menemukan ramuan untuk mengawetkan jasad, lagi lagi orang asing penghuni kepalaku sok tahu mendebatku. aku tidak bilang jasad, tapi bangkai.
oh maaf, orang asing pernghuni kepalaku buru buru berkata, sebelum kusiramkan sisa kopi ke wajahnya. aku melorot ke arahnya, otot otot wajahnya bergetar seperti sedang menahan tawa. tak kutahan hasratku untuk menuangkan sisa kopi ke wajahnya. baru kutahu gelasku telah sepenuhnya kosong ketika kuangkat secepay kilat. kepalang tanggung kulontarkan saja gelas kosong ke arah orang asing penghuni kepalaku. tak kusangka dengan cekatan ia menangkapnya. ia membalikkan badan dan berjalan meninggalkanku.
tak lama ia kembali membawa lagi segelas kopi. dengan mimik serius ia bicara, jasad dan bangkai tidak sama. aku mendengus. kupikir pikir kasihan juga kalau kepalaku sampai berlumuran kopi. pasti seru, coreng moreng hitam, mirip wajah suku suku primitif yang siap berperang. sebuah biola tiba tiba mendarat di lantai, seolah olah ingin ambil bagian dalam percakapan kami*