Rabu, 27 Maret 2013

rest



Siang melambaikan tangan lalu berjalan pelan. Menyisakan punggungnya yang menyilaukan. Meninggalkan penantian kegerahan di tepi tepi jalan. Berjejer kegerahan dengan kegelisahan, saling memandang dengan keengganan menanyakan tempat dan tujuan. Seakan akan mereka sedang belajar bersama tentang keputus asaan. Dan paham bahwa senja pasti datang menggantikan cerita. Tidak menyimpan sesuatu yang sungguh sungguh penting untuk dibicarakan. Dan aku kehilangan kehendak dengan cara paling hangat. Menyipitkan mata menatap cahaya silau yang menyerbu ke arah mata bersama debu debu yang tak pernah berhenti bergumul dalam gelembung udara. Penantian berbisik, nada suaranya sendu. Tentang rumah kayu, kerlip gelombang, tarian ganggang, kepakan sayap unggas, kesabaran sampan yang terikat di pinggir telaga. Aku masih ingat bagaimana rasanya tidak membutuhkan kebahagiaan untuk memejamkan mata. Mengijinkan angin mengusap alis, mengecup kening dan kelopak mata, mengacak rambut, mengikuti gerak tanganmu. Apakah ada bedanya, penantian yang telah kukenal sangat dekat dengan yang kutemui baru saja menepi sambil saling pandang dengan keengganan menanyakan tempat dan tujuan. Beribu ribu lorong di dalam kepalaku berujung satu. Debu debu tertegun sebelum meleleh, mengikuti cara angin mengikuti gerak tanganmu, mengusap alis, mengecup kening dan kelopak mata, mengacak rambut. Ini kota, menelan kehilangan dan ingatan, memuntahkannya kembali, segera. Udara menarik debu debu ke dalam pelukan erat. Dan senja berdiri tegak, memandangi semua yang berdiri dan berjalan mendekat selepas siang melambaikan tangan*