Siang melambaikan tangan lalu berjalan pelan.
Menyisakan punggungnya yang menyilaukan. Meninggalkan penantian kegerahan di
tepi tepi jalan. Berjejer kegerahan dengan kegelisahan, saling memandang dengan
keengganan menanyakan tempat dan tujuan. Seakan akan mereka sedang belajar
bersama tentang keputus asaan. Dan paham bahwa senja pasti datang menggantikan
cerita. Tidak menyimpan sesuatu yang sungguh sungguh penting untuk dibicarakan.
Dan aku kehilangan kehendak dengan cara paling hangat. Menyipitkan mata menatap
cahaya silau yang menyerbu ke arah mata bersama debu debu yang tak pernah
berhenti bergumul dalam gelembung udara. Penantian berbisik, nada suaranya
sendu. Tentang rumah kayu, kerlip gelombang, tarian ganggang, kepakan sayap
unggas, kesabaran sampan yang terikat di pinggir telaga. Aku masih ingat
bagaimana rasanya tidak membutuhkan kebahagiaan untuk memejamkan mata.
Mengijinkan angin mengusap alis, mengecup kening dan kelopak mata, mengacak
rambut, mengikuti gerak tanganmu. Apakah ada bedanya, penantian yang telah
kukenal sangat dekat dengan yang kutemui baru saja menepi sambil saling pandang
dengan keengganan menanyakan tempat dan tujuan. Beribu ribu lorong di dalam kepalaku
berujung satu. Debu debu tertegun sebelum meleleh, mengikuti cara angin
mengikuti gerak tanganmu, mengusap alis, mengecup kening dan kelopak mata,
mengacak rambut. Ini kota, menelan kehilangan dan ingatan, memuntahkannya
kembali, segera. Udara menarik debu debu ke dalam pelukan erat. Dan senja
berdiri tegak, memandangi semua yang berdiri dan berjalan mendekat selepas
siang melambaikan tangan*