Senin, 01 April 2013

puyu

Jam dua dini hari bayang bayangku merebahkan diri. Bukan soal waktu, suhu tubuh dan udara, juga bukan tentang suara deru di kejauhan. Kujatuhkan tubuhku ke atas dedaunan datar. Kurasa bukan cuma pola dan warna alas tidurku yang mengantarkan keheningan lewat tengah malam.
Semisal perjalanan yang tidak tergesa gesa, tidak seekorpun domba kujumpai. Dedaunan tidak mengenal kata tumbuh dan layu di punggungku. Dan tidak ada yang meninggalkan apapun. Aku berbicara begitu panjang, sepanjang ruas tulang. Mungkin ada yang terbakar, mungkin sirene gemar meraung membungkam keresahan.
Tapi, kau sudah pulang ketika aku masih kanak kanak yang sibuk membuat gajah dengan segumpal lilin merah muda. Telinganya lebar, hidungnya panjang. Berayun ayun sambil mendengar dan bernafas. Gajah merah muda berwajah ramah bukan ibuku.
Ikan emas bersirip utuh setelah berenang di celah celah karang. Dekat dasar laut tawar yang dangkal. Aku menguap, menindih bayang bayangku. Terbenam di dedaunan datar. Kudengar bisikan menciumku begitu dalam, sangat berhasrat menyampaikan pesan, kenyataan datang kepada mata terpejam.
Seperti tuhan atau aroma rempah rempah yang menyalakan kematian. Perlu berapa lama melumat tubuh, bagi tanah. Lihat, lihat ke dalam mataku yang lupa*