Jumat, 26 September 2014

x)

mendengarkan lagu favoritmu, bagian refrainnya terasa menghentak otak, we can learn to love again. hatiku gemuruh, tidak tepat, setidaknya kurang tepat. lebih mudah melihat ketidaksempurnaan dari bagian luar. bahkan jika semua bagian cuma artifisial. siapa berhak meralat demi kebaikan. persetan, aku berkata seirama lagu, mencoba meredakan getaran getaran dalam kepala. sebelum gempa di kepala bertambah parah hingga mengakibatkan tsunami menyerbu mata. we have learn to love again, we should learn to love again, we must learn to love again. kalau kau dengar, akan kutanya, mana yang lebih tepat.
sudah sekian lama, atau beberapa saat, aku muak dengan kalimat yang kusebut sok bijak yang menunjukkan bahwa kesempurnaan itu sempurna. kesalahan tak dapat dimaafkan. manusia disamakan dengan porselin, beling atau keramik, bahkan lebih rapuh dari plastik. piring atau gelas jika dijatuhkan sengaja atau tak sengaja hingga pecah berantakan, tamatlah segalanya. bah. bego betul orang orang sok pintar.
tak ada orang dapat memecahkan orang. melukai tubuh, mematahkan tulang, meremukkan kepala, tidak sulit dan sering terjadi. namun setiap orang memiliki bagian yang tak terlihat sama sekali oleh siapapun, tidak terlihat orang lain, tidak pula terlihat orangnya sendiri. tak terlihat, tak tersentuh, apakah utuh atau separuh, tak ada yang tahu, dan tak ada yang dapat mengurangi atau menambahkan apapun.
seandainya cinta dapat dibagi, dengan logika matematika cinta tidak menyurut jumlahnya. utuh dan bertambah banyak, lebih tepatnya dipakai kata dikali, digandakan jumlahnya berkali kali. begitulah yang terjadi pada seorang ibu yang anaknya lebih dari satu. kalau mau ngawur, bisa juga dijadikan alasan selingkuh.
sinting, aku sinting. mungkin. tak masalah, mending aku sinting daripada setuju dengan anggapan orang sama dengan piring atau gelas berbahan beling*