Selasa, 23 September 2014

*

baru saja teringat, aku pernah sangat gemar berkhayal menjadi seorang indian. mencoreng coreng wajah, mengenakan ikat kepala berhias bulu rajawali, memakai gelang dan kalung manik manik, berpacu di padang rumput mengendarai kuda tanpa pelana, menggunakan asap untuk mengirimkan pesan kepada seorang teman yang berada di tempat jauh. minum dan mandi di hulu sungai, dekat mata air, menangkap ikan dengan tombak, kudecakkan lidah membayangkan lezatnya daging panggang dan buah buahan liar.
seorang anak indian tak perlu menghapalkan pelajaran, setiap hari bebas berlarian di padang rumput, mendaki bukit atau tebing, memanjat pohon. yang paling seru, tentu menjinakkan kuda liar.
sebagai anak indian yang dilahirkan di musim semi, saat saat di mana hujan kerap turun sejenak menyejukkan bumi. padang rumput mestinya berseri, dipenuhi bunga aneka warna, udara segar, beraoma manis dan wangi, binatang kecil dan serangga serangga cantik, macam kupu kupu meloncat dan terbang kesana kemari. burung burung juga riang beterbangan. segalanya nampak cerah, bercahaya dan penuh warna.
jika dilahirkan sesaat setelah hujan reda ketika matahari belum terbenam, mungkin sekali ayahku akan menamaiku pelangi, atau kelinci putih, atau kupu kupu ungu. bila sebelum matahari terbit aku lahir, masih besar peluangku untuk mendapatkan nama yang indah, macam bintang timur, cahaya kunang kunang, purnama, atau mawar liar, mengingat ibuku tidak menyingkirkan rumpun mawar liar yang tumbuh di sekeliling kemah kami, betapapun duri durinya sering melukaiku saat aku bermain, mengejar seekor belalang, atau mencoba menangkap seekor capung. semasa kecil, pernah kulihat beberapa ekor capung berpunggung biru, jenis capung gesit yang selalu berhasil lolos dari tangkapanku*.