Minggu, 24 Agustus 2014

atas nama bahasa



Malam tolol. Dia diam saja menyaksikan keganjilan demi keganjilan berbaris. Menggenapkan risau. Malam memang tolol, tak dapat memahami bahasaku, padahal sudah kubuat buruk. Tak mungkin lebih buruk dari yang buruk. Aku teringat bangunan bertingkat, masing masing lantainya dihubungkan dengan tangga yang mesti diinjak setiap anaknya agar tiba di tempat lebih atas. Keburukan boleh bertingkat asal ada yang mau terus terang mengatakan, anak anak siapa bakal terinjak injak saat ada seseorang berniat naik pangkat. Mungkin lampu, dia membanggakan dirinya terang terus. Tak ada larangan mendorong kenyataan. Terjatun dari balkon tingkat berepapaun kenyataan tak bakal hancur, memarpun tidak. Dia tidak memakai tubuh, tidak dapat pecah, kebal, tak pernah merasakan sakit, tak bakal terluka dan terbuka.

“Sepuluh, Sembilan, delapan, tujuh, empat.” Ahh, aku salah hitung. Akan kuulang, “Sepuluh, Sembilan, tujuh, delapan.” Lagi lagi salah. Jangan menyerah,”Sepuluh, Sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, dua>” Sial! Kali ini tak boleh salah, Sepuluh, Sembilan, tiga,” Keterlaluan. Aku memaki lidahku. Lantas menghibur diri, menghitung mundar tidak segampang memetik daun kelor. Ini pasti isyarat dari dalam tanah, belum saatnya aku ke sana.

Kalau memiliki lidah, silet pasti melet. Kuletakkan sembarangan di atas meja. Sedikit terpelanting. Tidak usah menyesal tidak jadi menikmati seutas nadi.

Dan di luar sana, tiang lampu berdiri berjajar sepanjang jalan, serempak menunduk lesu. Cahaya lampu terulur, tidak terjatuh, menerangi jalan jalan, langkah langkah, bayang bayang. Menciptakan atau menemukan. Ada ada saja. Ada ada saja. Ada ada saja. Dan ada ada saja. Semuanya sedang sepakat mengada ada. Aku mengada ada maka aku ada. Lucunya, mereka memberiku nama Ida. Tapi menunjuk nunjuk ke arahku, sambil saling berbisik, dia, dia, dia.

“Aku Ida, bukan Dia. Aku tak kenal Dia.” Aku selalu mengatakan hal yang sama setiap kali merasa bersalah.

Rasa bersalah, membuat siapa saja jadi serba salah. Ada dia, menciptakan keliamt kalimat yang kutemukan saat aku mengorek ngorek sampah. Keranjang sampah bangga menjadi betina, penuh rahasia, berbagi rejeki dengan orang orang kecil, menyelenggarakan pesta untuk bangsa lalat, menguarkan aroma khas yang sulit diabaikan. Tapi keranjang sampah tak punya nama, tak ada yang menyebut dia ketika menuding ke arahnya.

Ada yang memperhatikan dia. Diam diam. Berencana menabraknya seolah tanpa sengaja. Pelan pelan. Demi menciptakan atau menemukan alasan untuk menangkapnya saat dia terhuyung. Mencegahnya terjatuh. Dia akan dipeluk erat erat, dihirup dalam dalam. Dia mungkin terkejut, kehilangan keseimbangan. Dia pasrah, menyerah, memilih menghempaskan tubuhnya kepada rasa aman, seakan akan sukarela ditangkap. Kesengajaan mengerti betapa membosankan perumpamaan, betapa pahit kesembuhan, betapa rumit keterikatan. Dunia penuh sihir, tangannya gemetar menggenggam takdir.

“Dia belum selesai mengerjakan pekerjaan rumah.” Kata bocah bocah ketika guru mencari tahu apa sebabnya Ida tak masuk sekolah. Tak ada masa lalu hanya berlaku untuk buku. Semakin kumal semakin tajam mengasah akal. Perasaannya berkata, dia sudah besar mendengar tangannya gemetar.

Angankan saja, angka menggunakan kekuasaannya dengan membabi buta. Sewenang wenang berjalan di depan, ke depan, menyeret nyeret dia menemukan Ida. Sementara Ida terpaku pada segala yang ada, ada segalanya, mengarah ke arahnya, memohon, mendesaknya menciptakan dia. Apa adanya. Ada apanya. Ada ada saja. Ada saja ada.

Terbatuk batuk, rasa gatal di dalam leher menelanku. Bulat bulat. Serupa katak menelan seekor lalat. “Masih siang.” Dia memahami kehangatan, masih siang, terdengar serupa, tidurlah lagi.

Namun dia, Ida enggan memejamkan mata. Dia kehabisan mimpi. Tak ada penjual mimpi di siang hari. Hari gini, segalanya harus beli. Jejak liurnya belum kering, di sudut bibir. Bantalnya hangat, menopang separuh wajahnya.

Malam tolol. Betul betul tolol. Dia menyangka siang hari. Menemukan atau menciptakan Ida, bisanya mengada ada. Ada ada saja.  Seandainya dia seorang samurai, pedangnya tentu telah kehilangan akal sejak abad ke delapan belas*