Malam tolol.
Dia diam saja menyaksikan keganjilan demi keganjilan berbaris. Menggenapkan
risau. Malam memang tolol, tak dapat memahami bahasaku, padahal sudah kubuat
buruk. Tak mungkin lebih buruk dari yang buruk. Aku teringat bangunan bertingkat,
masing masing lantainya dihubungkan dengan tangga yang mesti diinjak setiap
anaknya agar tiba di tempat lebih atas. Keburukan boleh bertingkat asal ada
yang mau terus terang mengatakan, anak anak siapa bakal terinjak injak saat ada
seseorang berniat naik pangkat. Mungkin lampu, dia membanggakan dirinya terang
terus. Tak ada larangan mendorong kenyataan. Terjatun dari balkon tingkat
berepapaun kenyataan tak bakal hancur, memarpun tidak. Dia tidak memakai tubuh,
tidak dapat pecah, kebal, tak pernah merasakan sakit, tak bakal terluka dan
terbuka.
“Sepuluh,
Sembilan, delapan, tujuh, empat.” Ahh, aku salah hitung. Akan kuulang,
“Sepuluh, Sembilan, tujuh, delapan.” Lagi lagi salah. Jangan menyerah,”Sepuluh,
Sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, dua>” Sial! Kali ini tak boleh salah,
Sepuluh, Sembilan, tiga,” Keterlaluan. Aku memaki lidahku. Lantas menghibur
diri, menghitung mundar tidak segampang memetik daun kelor. Ini pasti isyarat
dari dalam tanah, belum saatnya aku ke sana.
Kalau
memiliki lidah, silet pasti melet. Kuletakkan sembarangan di atas meja. Sedikit
terpelanting. Tidak usah menyesal tidak jadi menikmati seutas nadi.
Dan di luar
sana, tiang lampu berdiri berjajar sepanjang jalan, serempak menunduk lesu.
Cahaya lampu terulur, tidak terjatuh, menerangi jalan jalan, langkah langkah,
bayang bayang. Menciptakan atau menemukan. Ada ada saja. Ada ada saja. Ada ada
saja. Dan ada ada saja. Semuanya sedang sepakat mengada ada. Aku mengada ada
maka aku ada. Lucunya, mereka memberiku nama Ida. Tapi menunjuk nunjuk ke arahku,
sambil saling berbisik, dia, dia, dia.
“Aku Ida,
bukan Dia. Aku tak kenal Dia.” Aku selalu mengatakan hal yang sama setiap kali
merasa bersalah.
Rasa
bersalah, membuat siapa saja jadi serba salah. Ada dia, menciptakan keliamt
kalimat yang kutemukan saat aku mengorek ngorek sampah. Keranjang sampah bangga
menjadi betina, penuh rahasia, berbagi rejeki dengan orang orang kecil,
menyelenggarakan pesta untuk bangsa lalat, menguarkan aroma khas yang sulit
diabaikan. Tapi keranjang sampah tak punya nama, tak ada yang menyebut dia
ketika menuding ke arahnya.
Ada yang
memperhatikan dia. Diam diam. Berencana menabraknya seolah tanpa sengaja. Pelan
pelan. Demi menciptakan atau menemukan alasan untuk menangkapnya saat dia
terhuyung. Mencegahnya terjatuh. Dia akan dipeluk erat erat, dihirup dalam
dalam. Dia mungkin terkejut, kehilangan keseimbangan. Dia pasrah, menyerah,
memilih menghempaskan tubuhnya kepada rasa aman, seakan akan sukarela
ditangkap. Kesengajaan mengerti betapa membosankan perumpamaan, betapa pahit kesembuhan,
betapa rumit keterikatan. Dunia penuh sihir, tangannya gemetar menggenggam
takdir.
“Dia belum
selesai mengerjakan pekerjaan rumah.” Kata bocah bocah ketika guru mencari tahu
apa sebabnya Ida tak masuk sekolah. Tak ada masa lalu hanya berlaku untuk buku.
Semakin kumal semakin tajam mengasah akal. Perasaannya berkata, dia sudah besar
mendengar tangannya gemetar.
Angankan
saja, angka menggunakan kekuasaannya dengan membabi buta. Sewenang wenang
berjalan di depan, ke depan, menyeret nyeret dia menemukan Ida. Sementara Ida
terpaku pada segala yang ada, ada segalanya, mengarah ke arahnya, memohon,
mendesaknya menciptakan dia. Apa adanya. Ada apanya. Ada ada saja. Ada saja
ada.
Terbatuk
batuk, rasa gatal di dalam leher menelanku. Bulat bulat. Serupa katak menelan
seekor lalat. “Masih siang.” Dia memahami kehangatan, masih siang, terdengar
serupa, tidurlah lagi.
Namun dia,
Ida enggan memejamkan mata. Dia kehabisan mimpi. Tak ada penjual mimpi di siang
hari. Hari gini, segalanya harus beli. Jejak liurnya belum kering, di sudut
bibir. Bantalnya hangat, menopang separuh wajahnya.
Malam tolol.
Betul betul tolol. Dia menyangka siang hari. Menemukan atau menciptakan Ida, bisanya mengada ada.
Ada ada saja. Seandainya dia seorang
samurai, pedangnya tentu telah kehilangan akal sejak abad ke delapan belas*