Jumat, 11 Juli 2014

*

seandainya anak anak itu adalah anak anakku, sebanyak apa simpati atau kepedulian seisi dunia sanggup meringankan dukaku. tak ada, sebanyak apapun, tak akan sanggup.
maka biarkan aku bebal, hingga cukup gila untuk berteriak di jalan jalan, lebih baik lagi bila telanjang dan berdarah darah, serupa ibu yang baru kehilangan anak anaknya, hingga aku sanggup berkata, jangan anak anak mereka, biar anakku saja, karena harapan dan cintanya lebih besar dari harapan dan cintaku untuk anak anakku. mungkin dia akan menyayangiku seperti dia menyayangi seorang nabi besar pada jaman dulu kala. mendengar dan mengerti, lantas memindahkan jatuhnya rudal dari kota ke padang rumput, agar anak anak domba atau binatang apa saja boleh mati sebagai korban untuk menggantikan anak anak manusia.
tapi, itu tidak terjadi, kukira tak akan pernah, aku cuma bisa memilih menjadi manusia normal, naluri keibuanku menghendakiku berkata logis, aku masih waras, tidak pantas menangis, malah mestinya tersenyum dan bersyukut, bahwa anak anakku hidup, sehat dan utuh, berada jauh dari ancaman rudal, dan dia tidak sampai hati menguji ketaatanku dengan perintah untuk menyembelih anakku.
apakah aku salah, aku benar benar bertanya*