Senin, 02 Mei 2016

dongeng sebelum tidur

Hujan semacam riwayat, tentang seseorang yang kesepian, menempuh perjalanan. Langit tiba tiba terasa hampa dan terlalu luas. Sepekat awan hitam, seseorang penat melayang sendirian, merindukan suara suara riang dan segala yang meloncat dan bergetar menyambut kedatangannya. Tanpa pikir panjang ia nekad mendekati bola api raksasa, meleburkan diri hingga ia pecah berderai.
Ia jatuh, terhempas jauh, tak lagi utuh. Senang betul ia, menyentuh siapa saja yang tak berteduh. Semua yang disentuhnya mendadak berkilau, licin, sejuk, ia meluncur tak terbendung. Ia hanyut untuk menghanyutkan, tak ingin surut. Serupa anak anak terpesona mainan, ia memegang, menggenggam, menimang nimang, enggan melepaskan segala yang ditemukan sepanjang jalan. Ia terseret hasratnya sendiri, menabrak, menerobos celah, mengalir deras, ia ingin kesenangannya berlanjut. Tanpa sadar ia meluap, menerjang sembarangan, mendaki kian tinggi, seakan berniat menguasai semua yang telah membangkitkan semangatnya. Hingga ia kehabisan daya, segenap yang ada padanya telah luruh, mengalir jauh. Kelelahan sekaligus kesenangan, ia mulai tenang, memandang sekeliling.
Berpasang pasang mata, berupa rupa wajah di sekitarnya, sekarang ia menggenang. Berpasang pasang mata menatapnya resah. Sesaat kemudian ia melihat beberapa wajah menengok ke atas, mendesah, saling bicara. Didengarnya suara suara,”bagus, tak ada mendung sekarang.”  “Semoga tetap cerah.” “Kuharap ini cepat surut.” “Banjir terkutuk.”
Lalu ia sadar, suara suara itu bicara tentang dirinya. Awan hitam yang kini genangan sisa hujan.  Ia merasa keruh.
Tiba tiba ia bergelombang, segera ia berpaling ke arah datangnya seruan dan sentuhan yang menderanya.  Dilihatnya di kejauhan, sekumpulan anak anak sedang bermain, berlarian, terjun, berteriak, saling dorong sambil tertawa. Sesaat ia melupakan dirinya.  Tak tahu pasti, ia tak yakin atau tak peduli, kehangatan atau keruh yang membuat pandangannya kabur.
Genangan  air tak lagi merasakan apapun. Semua terlihat samar serupa bayangan. Saat bola api api raksasa mengulurkan jemari menyentuhnya, panas menyengatnya. Ia hanya menguap, menikmati kenyamanan dan kehangatan ruang dan waktu yang tepat. Ia sempat menggeliat, dan terus menguap, seperti seorang anak menjelang tidur pulas, setelah kelelahan main hujan hujanan seharian*