Senin, 23 Mei 2016

sweet dream

Selamat tidur mimpi.
Selamat sendiri. Aku mesti bergegas menyambut pagi. Sisa sisa malam mencoba bertahan, menawarkan kelembutan dan keramahan bantal. Mirip masa silam, bertahan. Bertahan. Bertahan. Ingatan mendadak bebal dan bikin kesal. Seperti air liur, tak pernah mengiring meski berulang ulang ditelan. Seperti air liur, mengandung enzim untuk melancarkan pencernaan. Rasanya, bantal lebih paham, bantal tidak menghafal.
Bantal mengerti kepalaku butuh penopang sepanjang malam. Dan lenganmu sekuat dan sesayang apapun, tak setegar bantal. Lenganmu bisa pegal dan kesemutan. Karena sayang, tak dapat kuijinkan kepalaku mengakibatkan kau bangun pagi dengan rasa tak nyaman.  Bukan pengorbanan bagi sebuah bantal, ditindih kepala siapapun, ditetesi air liur yang akrab atau tak dikenal. Bantal hanya bantal, setiap kepala manusia dapat mengandalkan sebuah bantal untuk mengganjal kepalanya sepanjang malam, demi tidur nyenyak, melupakan sejenak segala macam ketidakadilan.
Selamat sendiri. Kukatakan pada bantal sebelum beranjak dari mimpi. Malam memudar, terang menghadang.  Masih, selalu berkhayal aku malam, bertaburan bintang, waktumu bersinar. Kau dan aku, dua bantal berbaring bersama, menopang kepala kepala kelelahan, menadah setiap tetes ludah.
Menyimpan diam diam beraneka mimpi, jejak gambar samudra dan pulau pulau asing. Suatu pagi, ingin kutanyakan pada dua buah bantal, adakah di antara kalian pernah ingin bebas, membentang di ketinggian, seperti langit. Di mana setiap kepala yang tertidur menumbuhkan bergumpal gumpal awan. Lembut, kusut, hitam, kelabu, putih keperakan, bahkan warna warni sesaat seiring terbit dan menjelang terbenamnya mimpi.   
Selamat pagi, terdengar serupa mimpi*