Selamat
tidur mimpi.
Selamat
sendiri. Aku mesti bergegas menyambut pagi. Sisa sisa malam mencoba bertahan,
menawarkan kelembutan dan keramahan bantal. Mirip masa silam, bertahan.
Bertahan. Bertahan. Ingatan mendadak bebal dan bikin kesal. Seperti air liur,
tak pernah mengiring meski berulang ulang ditelan. Seperti air liur, mengandung
enzim untuk melancarkan pencernaan. Rasanya, bantal lebih paham, bantal tidak
menghafal.
Bantal
mengerti kepalaku butuh penopang sepanjang malam. Dan lenganmu sekuat dan
sesayang apapun, tak setegar bantal. Lenganmu bisa pegal dan kesemutan. Karena sayang,
tak dapat kuijinkan kepalaku mengakibatkan kau bangun pagi dengan rasa tak
nyaman. Bukan pengorbanan bagi sebuah
bantal, ditindih kepala siapapun, ditetesi air liur yang akrab atau tak
dikenal. Bantal hanya bantal, setiap kepala manusia dapat mengandalkan sebuah
bantal untuk mengganjal kepalanya sepanjang malam, demi tidur nyenyak,
melupakan sejenak segala macam ketidakadilan.
Selamat sendiri.
Kukatakan pada bantal sebelum beranjak dari mimpi. Malam memudar, terang
menghadang. Masih, selalu berkhayal aku
malam, bertaburan bintang, waktumu bersinar. Kau dan aku, dua bantal berbaring
bersama, menopang kepala kepala kelelahan, menadah setiap tetes ludah.
Menyimpan diam
diam beraneka mimpi, jejak gambar samudra dan pulau pulau asing. Suatu pagi,
ingin kutanyakan pada dua buah bantal, adakah di antara kalian pernah ingin
bebas, membentang di ketinggian, seperti langit. Di mana setiap kepala yang
tertidur menumbuhkan bergumpal gumpal awan. Lembut, kusut, hitam, kelabu, putih
keperakan, bahkan warna warni sesaat seiring terbit dan menjelang terbenamnya
mimpi.
Selamat pagi, terdengar serupa mimpi*