Rabu, 18 Mei 2016

hampir ketiduran

Sudah jam satu.
Tak ada yang menunggu.
Aku hanya ingin tahu, kenapa aku jadi tak suka menggunakan kata tidak pada kalimat kalimatku.
Kalau bisa tak kenapa tidak.
Terasa meringankan, meringkas penolakan.
Perasaan sama saja, hanya memangkas pengucapan.
Merapikan maksudmu, semacam mengusahakan agar terbaca lebih singkat, terdengar lugas. Tak.
Tidak. Tak benar begitu. Aku hanya ingin tahu reaksimu.
Pentingkah.
Tak tahu.
Kau terbang seperti camar.
Bukannya bersinar.
Tak usah berharap macam macam.
Kau kejam, mirip elang
Kau tak keberatan.
Oh tentu, justru itu, keberatan, aku selalu ingin tahu bagaimana kau bisa kejam, dan aku masih tak keberatan.
Tak ada cara lain untuk kau dan aku saling menyentuh.
Kau atau aku, lebih dulu jatuh.
Haruskah begitu.
Kau dan aku diterbangkan demi permainan, mengendalikan sesuatu yang dapat tiba tiba terjatuh.
Aku merasa makin rapuh.
Aku juga tak lagi utuh.
Dapatkah kita lebih dekat, lebih erat.
Dapat. Lebih cepat terjerat lalu tamat.
Tak ada pilihan.
Tidak.
Oh, permainan sialan.
Layang layang.
Ya. Tak biasanya kau dan aku diterbangkan jam satu malam.
Siang dalam angan angannya.
Ah, angan angan.
Dia kesepian.
Dia bicara sendirian.
Jangan jangan*