Sudah jam
satu.
Tak ada yang menunggu.
Aku hanya
ingin tahu, kenapa aku jadi tak suka menggunakan kata tidak pada kalimat
kalimatku.
Kalau bisa
tak kenapa tidak.
Terasa meringankan,
meringkas penolakan.
Perasaan sama
saja, hanya memangkas pengucapan.
Merapikan maksudmu,
semacam mengusahakan agar terbaca lebih singkat, terdengar lugas. Tak.
Tidak. Tak benar
begitu. Aku hanya ingin tahu reaksimu.
Pentingkah.
Tak tahu.
Kau terbang
seperti camar.
Bukannya bersinar.
Tak usah
berharap macam macam.
Kau kejam,
mirip elang
Kau tak
keberatan.
Oh tentu,
justru itu, keberatan, aku selalu ingin tahu bagaimana kau bisa kejam, dan aku
masih tak keberatan.
Tak ada cara
lain untuk kau dan aku saling menyentuh.
Kau atau
aku, lebih dulu jatuh.
Haruskah begitu.
Kau dan aku diterbangkan
demi permainan, mengendalikan sesuatu yang dapat tiba tiba terjatuh.
Aku merasa makin
rapuh.
Aku juga tak
lagi utuh.
Dapatkah kita
lebih dekat, lebih erat.
Dapat. Lebih
cepat terjerat lalu tamat.
Tak ada
pilihan.
Tidak.
Oh,
permainan sialan.
Layang layang.
Layang layang.
Ya. Tak biasanya
kau dan aku diterbangkan jam satu malam.
Siang dalam
angan angannya.
Ah, angan
angan.
Dia kesepian.
Dia bicara
sendirian.
Jangan jangan*