Minggu, 22 Mei 2016

minggu pagi

Mereka berkata ini malam minggu. Aku tak mengerti atau kehilangan konsentrasi, seingatku, esok pagi hari minggu baru dimulai. Bagaimana malam minggu tiba lebih dulu sebelum minggu pagi.
Malam minggu dan minggu pagi, sebentar, aku menyeduh kopi. Gulanya kutakar lebih sedikit. Kuharap pahit menjernihkan pikir. Saat kembali duduk, malam minggu ternyata menungguku. Malam minggu memilih sebuah kursi, lalu menghempaskan dirinya kepada kayu. Tanpa suara, malam minggu duduk satu meja denganku.
Tak kutawakan kopi, sigaret apalagi. Aku mestinya bertanya, kenapa mereka berkata ini malam minggu, selagi malam minggu duduk satu meja denganku. Tapi aku diam, memandangnya sekilas, mataku mengirimkan pesan, atau tuntutan, tak ada harapan.
Malam minggu, aku tak gentar padamu. Sedikit mengantuk, aku menguap bersama asap.
Malam minggu, untuk apa kaurampas sabtu malam dari ingatan setiap orang. Akhirnya kutanyakan, setalah kunyalakan sigaret keempat.  Kopi dan ruang berbisik, berebut kedinginan di dalam dan di luar gelas.
Gelas berdiri tegak, tak menghindar saat kuulurkan tangan. Padat dan sejuk.
Aku berpikir, mungkin lebih baik kubiarkan saja malam minggu menemuiku pada sabtu malam ini. Lagipula, seseorang yang jatuh cinta pernah berkata, apalah arti sebuah nama. Untuk suatu hari, pada setiap hari bermata sama.  Duduk bersama malam minggu dalam satu meja bukan bencana. Kalau mau seduhlah kopimu sendiri, kuhembuskan bersama asap.
Tahukah kau, di mana dan sedang apa sabtu malam ini. Sebentar, aku butuh lebih banyak kopi*