Mereka
berkata ini malam minggu. Aku tak mengerti atau kehilangan konsentrasi,
seingatku, esok pagi hari minggu baru dimulai. Bagaimana malam minggu tiba
lebih dulu sebelum minggu pagi.
Malam minggu
dan minggu pagi, sebentar, aku menyeduh kopi. Gulanya kutakar lebih sedikit.
Kuharap pahit menjernihkan pikir. Saat kembali duduk, malam minggu ternyata
menungguku. Malam minggu memilih sebuah kursi, lalu menghempaskan dirinya
kepada kayu. Tanpa suara, malam minggu duduk satu meja denganku.
Tak
kutawakan kopi, sigaret apalagi. Aku mestinya bertanya, kenapa mereka berkata
ini malam minggu, selagi malam minggu duduk satu meja denganku. Tapi aku diam,
memandangnya sekilas, mataku mengirimkan pesan, atau tuntutan, tak ada harapan.
Malam minggu,
aku tak gentar padamu. Sedikit mengantuk, aku menguap bersama asap.
Malam
minggu, untuk apa kaurampas sabtu malam dari ingatan setiap orang. Akhirnya
kutanyakan, setalah kunyalakan sigaret keempat.
Kopi dan ruang berbisik, berebut kedinginan di dalam dan di luar gelas.
Gelas
berdiri tegak, tak menghindar saat kuulurkan tangan. Padat dan sejuk.
Aku
berpikir, mungkin lebih baik kubiarkan saja malam minggu menemuiku pada sabtu
malam ini. Lagipula, seseorang yang jatuh cinta pernah berkata, apalah arti sebuah nama. Untuk suatu hari, pada setiap
hari bermata sama. Duduk bersama malam
minggu dalam satu meja bukan bencana. Kalau mau seduhlah kopimu sendiri, kuhembuskan
bersama asap.
Tahukah kau,
di mana dan sedang apa sabtu malam ini. Sebentar, aku butuh lebih banyak kopi*