Selasa, 24 Mei 2016

hum

Seperti seribu malam yang telah lewat, dan sebenarnya lebih. Jika ada tiga ratus enam puluh lima malam dalam setahun penanggalan matahari, maka beribu ribu malam lebih mendekati benar.
Beribu ribu malam yang benar telah lewat. Aku berjalan di trotoar, duduk di bangku, mengayuh sepeda, menengadahkan kepala. Dan sebenarnya harus kukatakan kebenaran yang lebih benar, bukan hanya malam. Kuangkat pundakku, kau paham bahasa tubuh.
Aku melamun sepanjang jalan. Dan masih selamat menempuh setiap perjalanan selama beribu ribu malam ditambah beribu ribu selain malam yang telah kukatakan. Ya, kau mengerti selalu ada waktu yang menyuruhku terburu buru hanya untuk lebih lama menunggu.
Menunggu sesuatu seperti hujan yang seperti kejutan.  Aku tahu artinya berlebihan, aku tahu, kuceburkan kecemasan dalam setiap gelas, kutaburkan lebih banyak keraguan ke dalam setiap kalimat. Dan tak pernah cukup, berlebihan, kecemasan, keraguan, sebenarnya harus kukatakan kerinduan. Aku pasti tidak mengerti, kubaca terlampau dini.
Aku berharap selalu tentang yang terburuk, yang mengajakku meliuk, menangkap pinggangku atau mendorong punggungku. Dan kaupeluk atau terpuruk. Sama sama buruk. Aku ambruk.
Dan duduk adalah yang terburuk. Nyamuk nyamuk semakin gendut setelah mengecupi tungkaiku yang terulur menyentuh lantai. Nyamuk nyamuk mabuk, lupa mendengung. Dan aku tak peduli pada kebingungan yang mengintip di balik punggung.
Masa depan serupa catatan yang penuh jejak lipatan. Dan beribu ribu malam yang kukatakan belum datang.  Dan catatan buruk akan menemukan yang lebih buruk dari yang buruk.  Membaca beribu ribu malam yang telah lewat, catatan catatan buruk.
Aku duduk, mendengung, yang sudahkah kau suntuk atau mengantuk*