Seperti
seribu malam yang telah lewat, dan sebenarnya lebih. Jika ada tiga ratus enam
puluh lima malam dalam setahun penanggalan matahari, maka beribu ribu malam
lebih mendekati benar.
Beribu ribu
malam yang benar telah lewat. Aku berjalan di trotoar, duduk di bangku,
mengayuh sepeda, menengadahkan kepala. Dan sebenarnya harus kukatakan kebenaran
yang lebih benar, bukan hanya malam. Kuangkat pundakku, kau paham bahasa tubuh.
Aku melamun
sepanjang jalan. Dan masih selamat menempuh setiap perjalanan selama beribu
ribu malam ditambah beribu ribu selain malam yang telah kukatakan. Ya, kau
mengerti selalu ada waktu yang menyuruhku terburu buru hanya untuk lebih lama
menunggu.
Menunggu
sesuatu seperti hujan yang seperti kejutan.
Aku tahu artinya berlebihan, aku tahu, kuceburkan kecemasan dalam setiap
gelas, kutaburkan lebih banyak keraguan ke dalam setiap kalimat. Dan tak pernah
cukup, berlebihan, kecemasan, keraguan, sebenarnya harus kukatakan kerinduan.
Aku pasti tidak mengerti, kubaca terlampau dini.
Aku berharap
selalu tentang yang terburuk, yang mengajakku meliuk, menangkap pinggangku atau
mendorong punggungku. Dan kaupeluk atau terpuruk. Sama sama buruk. Aku ambruk.
Dan duduk
adalah yang terburuk. Nyamuk nyamuk semakin gendut setelah mengecupi tungkaiku
yang terulur menyentuh lantai. Nyamuk nyamuk mabuk, lupa mendengung. Dan aku
tak peduli pada kebingungan yang mengintip di balik punggung.
Masa depan
serupa catatan yang penuh jejak lipatan. Dan beribu ribu malam yang kukatakan
belum datang. Dan catatan buruk akan
menemukan yang lebih buruk dari yang buruk.
Membaca beribu ribu malam yang telah lewat, catatan catatan buruk.
Aku duduk,
mendengung, yang sudahkah kau suntuk atau mengantuk*