Selasa, 28 Oktober 2014

kedip

oh puisi, tuliskan aku lagi. dengan ketukan ketukan yang membangunkan persimpangan. perempatan jalan tempat kita menguji ketaatan, atau kesepakatan, mereka reka kesempatan. bersama perjalanan, sejenak berhenti, menanti lampu berganti warna.
hanya kau yang bisa menghanyutkan keraguan ke arah kepasrahan. sebelum tidur menangkupkan tangan, bersuara lirih memohon jalan memutar, pergi untuk kembali. betapa berarti. mendung, gelegar halilintar, isyarat datang musim hujan yang mengajari kita kemarahan dan kesalahan yang tak kenal penyesalan.
oh puisi, tuliakan aku lagi. dengan sepi dan gerimis yang saling menemukan keteduhan. tak ada yang kekal, tak ada yang kekal. kita saling mengenal, saling genggam, bertukar salam. demi candu yang kunamai rindu menggerakkan bibirku. demi namamu tertulis di batu batu.
karena, telah kutanyakan segenap rencana yang gugur serupa daun, berapa helai tertinggal pada dahan pohon. aku mohon kau tak menghitung, hanya berkata, lebih banyak. selalu lebih banyak dari jarak dan matahari terbenam yang dapat kukenang. tak ada waktu, tak ada waktu, sehelai bulu mata terjatuh saat kulihat kau meringkuk di sudut mata, berbagi gerah dengan sebutir debu sebelum bertemu air mataku.
oh puisi, tuliskan aku lagi, dengan jernih yang kauciptakan sendiri, tanpa cermin. dengan hening yang tejaga, dengan putaran roda. dengan kepak sayap serangga. dengan bercak bercak di tirai jendela. tanpa angin, kita berdesir, saling mengirim gambar di dinding istana pasir*