Senin, 27 Oktober 2014

kecubung

bagaimana mungkin sepasang mata dapat melihat yang tersembunyi di balik jaketku. selembar baju yang setia melindungi tubuhku. aku memilihnya di antara setumpuk pakaian yang layu menanti tubuh.
hasrat membendung waktu tak menghentikan langkahku. aku bisu, aku bisu, aku bisu, kutelan lidahku. saat mengenangmu, saat menunggu, saat memilih baju. mendengarkan lagu yang itu itu melulu. selembar baju menyerah, tubuhku ngilu diserang rindu yang dikumandangkan lagu, lagu yang itu itu melulu.
huuu, sepasang mata, aku tidak mengeluh, tidak butuh, tidak jatuh. kakiku mengayuh. kukira meninggalkan ingatan semudah menanggalkan pakaian. sepasang mata melihat, sebatang pensil sama dengan lengan, jari jari tangan, ruas tulang, dapat tiba tiba patah, saat seraut wajah belum sempurna.
lantas aku mulai biasa, kelak pasti bisa, tidak memohon sepatah kata untuk menyambung lidah. bukankah sudah kutelan, lidah tak bertulang, kesepian setumpuk pakaian, sepasang mata yang terbiasa menemukan isyarat sepatah kata. mendatar atau menuruni kotak kotak yang tersedia untuk menjawab setiap tanya, apa, siapa, bagaimana, bilamana. sepatah kata menjawab segalanya. aku mohon, jangan kirimkan hadiah. kebenaran lebih tabah ketimbang kemenangan.
lagu yang sama, yang itu itu melulu. kalau mau, sayangilah kedunguanku.
sepasang mata, jadilah batu, biar kuinjak atau kusembunyikan di kantong bajuku*