Selasa, 19 Februari 2013

ketika

aku berhenti pada sebuah lubang yang mereka sebut jejak bintang. Bundar dan lebar dan tidak curam. Seekor kuda perak mendekat, menyuruhku menunggangi punggungnya. Lubang jejak bintang akan menjadi tong setan. Aku menunggang kuda perak. Berlari kencang mengitari lubang bundar dan lebar dan tidak curam. Tidak ada penonton. Tidak ada sobekan karcis pasar malam berserakan. Kuda perak senang sekali mengajakku mengelilingi lubang. Berputar putar. Kulihat debu debu berkilau di setiap injakan kaki kuda perak yang telanjang. Membubung ke atas, dari kepala sampai angkasa. Matahari silau melihat, menutup mata, padahal masih siang. Lubang tidak menyampaikan terimakasihnya. Kurasa lubang juga senang. Terlalu senang diterbangkan tapak kaki kuda perak. Kulihat kilat berdatangan. Mungkin sebentar lagi menggelegar. Kuda perak dan penunggangnya tidak gentar. Apakah ini kegembiraan yang sering dibicarakan ibu angsa. Tak ada yang tahu, apakah lubang pada akhirnya sungguh sungguh terbang. Aku mau menggambar sayap pada punggung kuda perak pada saat kami beristirahat, kalau sempat. Kuda perak juga punya nama, tidak harus, tapi alangkah baiknya. Untuk kukatakan kalau lubang jajak bintang bertanya, siapa yang sedang berlari riang mengitari dirinya yang bundar dan lebar dan tidak curam, selain aku yang sedang lupa cara berkata kata*