Senin, 25 Februari 2013

in absentia

Jangan katakan namamu, sangat tidak penting. Kuping gajah ternyata sama sekali tidak mendengar. Renyah, garis garis coklatnya melingkar lingkar dan tidak serasa coklat. Tapi anak anakku gemar memakannya. Rasanya seperti sangat besar. Raksasa mungkin bisa mengunyah kuping gajah sambil mendengarkan suara suara hutan. Teriakan primata, getar sayap serangga, langkah awan. Jangan resah, aku pasti lupa, namamu, namaku, tapi tidak berhenti mengikuti nyanyian semut di dinding kamar. Aku suka bicara yang itu itu saja. Sederhana seperti genangan air. Di dalamnya kutemukan seluruh dunia menjernihkan diri. Tidak mengapung atau tenggelam. Hanya berada di sana. Menjadi penghuni. Menanti dan tidak menanti langkah kakimu. Bercerita dan tidak menceritakan tentang ingat ingat lupa aroma hangat sarapan pagi.  Apapun itu tak akan sesulit membaca. Aku pemalas sekaligus pecundang lebih suka kaubaca, berharap matamu berkaca kaca merenungi sehelai bendera. Sejenis ikan hias yang gemar berenang dekat karang, bendera. Ada yang memberinya nama, bendera. Upacara di dasar laut dangkal. Kuping gajah di mejaku tidak mendengar gemeretak gigiku. Selamat, ingin kujabat tanganku, jika tanganku melupakan namanya. Kucium bibirku, jika bibirku melupakan namanya. Satu demi satu bagian tubuhku kelak bernama tanah, jika aku tidak lupa*