Rabu, 27 Februari 2013

i will

Aku ingin menulis surat untukmu lagi. Kau masih kekasihku sekalipun aku telah mati. Kenapa mati, tanyalah, aku ingin kau bertanya supaya kudapatkan alasan untuk membanting gelasku di hadapan matamu. Aku kekasih pengecut. Hanya berani sebatas itu, tidak ada nyali untuk membenturkan kepalaku di dinding. Aku sangat ingin, sayang tidak ada nyali. Nyaliku tak sebesar sayangku. Aku tak berani meninju hidungmu supaya kau sungguh tahu sebesar apa sayangku. Apalagi menikam atau mencekikmu sampai mati. Membunuh diriku tidak berani, membunuhmu tidak sampai hati. Payah sekali. Aku ingin sekali. Sebelum mati. Menulis surat untukmu lagi kemudian menyerahkannya kepada api.
Seekor katak berjalan di lantai kamar, sayang. Ini beneran. Akan kuceritakan. Aku ingin menjadi mahluk yang peduli dan punya empati malam ini. Tak apa ya... Katak ini berkah. Kaukirimkan untuk bahan percakapan kita. Katak kelihatan tenang tenang saja, tidak mencari jalan keluar. Sesungguhnya begitu adanya, atau hanya karena tidak mengerti. Katak tidak bisa mengatakan atau menyampaikan isyarat tentang keberadaanya di lantai kamar. Alasan dan kehendaknya. Seakan akan katak memang diciptakan untuk berada di lantai kamar demi sebuah tulisan. Kasihan. Kasihan. Kasihan. Kuharap katak tidak berjumpa dengan salah satu kucing penghuni rumah. Hanya itu.
Kekasihku, aku melihatmu mengasihaniku. Serupa benar dengan aku mengasihani katak di lantai kamar. Tapi kau tak berkata atau menuliskan, kasihan, kasihan, kasihan untukku. Apakah sikapmu lebih baik dan bijak dariku. Aku tidak memikirkan kurang atau lebih. Aku masih kekasihmu, sekalipun aku telah mati.
Aku bisa salah, kau kakasihku tidak mengasihaniku serupa kukasihani katak di lantai kamar. Kau tidak ingin aku mengerti. Bukan karena aku telah mati, tapi karena kau masih kekasihku yang sangat kusayangi.
Aku ingin memelukmu sebelum mati. Aku ingin kau memelukku sebelum kaubaca tulisanku.
Aku ingin sungguh sungguh mendengarmu berkata, pulanglah. Kemudian aku ingin berkata, janganlah datang padaku, tapi katakan saja aku sembuh.
Kekasihku aku tak lagi punya api, tak ada nyali untuk membakar kertas manapun. Seandainya aku bisa menangis, meneteskan air cukup deras untuk menghanyutkan kata kata dari mata kepada tiada.
Ini adalah awal, perjalanan sekaligus tujuan. Menjadikanmu kekasih. Sehidup semati*