Jumat, 23 Januari 2015

main jari


Gajah, manusia, semut.
Gajah mengalahkan manusia. Manusia mengalahkan semut. Semut mengalahkan gajah. Tak seorang anakpun bertanya, mengapa. Mengapa manusia tidak menembak gajah.  Nyatanya ada sejenis semut besar dan ganas yang sanggup memangsa manusia. Dan, kemungkinannya lebih besar jumlah semut yang terbunuh gajah, ketimbang gajah celaka akibat serangan semut.
Sejak dulu, anak anak terbiasa mematuhi aturan permainan, tanpa ragu. Hingga kini, hingga anak anak tumbuh dewasa, aturan permainan tak pernah dipertanyakan, tak jadi masalah. Begitulah kenyataannya. Hanya sejenis manusia hipokrit yang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk melamun, meresahkan aturan permainan yang telah berlaku selama entah berapa abad.
Kopi?
Pahit.
Hanya permainan yang dapat berjalan lancar berdasarkan aturan. Tak masalah, benar atau salah, asalkan sesuai aturan maka setiap orang akan puas dan gembira. Aturan adalah kebenaran dalam permainan. Apakah hidup benar benar permainan?
Gunting, batu, kertas, juga sama. Bagaimana jika batunya leih besar dan sangat berat, sedangkan kertasnya kecil. Atau kertasnya tebal dan guntingnya tumpul. Alangkah banyaknya batu di bumi yang tak sanggup meremukkan sebuah gunting. Tapi aturan telah ditentukan dan akan selalu digunakan dalam permainan.
Tulisan ini adalah efek negatif akibat kekurangan sigaret.
Dan siang tadi, tiga ekor kupu kupu kecil terbang menukik cukup rendah mendekati sekumpulan manusia yang menurut seorang pengamat tak perlu ada. Entah kenapa dunia mesti dipenuhi ketidak indahan. Seandainya bisa, pasti pengamat tersebut tak ragu sedikitpun untuk menyihir setiap manusia dalam jarak pandangnya menjadi rumpun bunga bunga, daunpun tak soal. Tanaman seringkali lebih sedap dipandang dari pada manusia, yang jelas, tanaman tak banyak tingkah, diam dan pasrah. Tak ada kupu kupu sudi hinggap di atas manusia, sewangi apapun rambutnya. Hanya dalam sebuah lagu, kupu kupu hinggap di rambutmu.
Sekarang masuk akal, kenapa otak terlihat tidak bagus, bisa dibilang menjijikkan. Kelabu, berkerut, seram, tidak keruan. Itulah alat untuk berpikir. Memilih dan menyusun kata. Mencetuskan pendapat dan gagasan. Bunga tak berotak. Jika berotak, tentu mawar dan melati tak seindah ini.
Hati? Gumpalan merah, lembek, berbau amis. Kalau tak pakai otak, pakai hati. Tak ada yang lebih baik. Semua obrolan sia sia manusia. Tapi diam yang dibuat buat dan dipaksakan juga memuakkan.
Kau bunga di tamanku, begitu syair sebuah lagu. Bukan, kau putri, permaisuri, gadis, janda, wanita, perempuan, atau apa saja sebutan yang bermakna manusia. Bunga, adalah pujaan dan pujian paling sempuna untuk manusia. Seorang manusia yang jatuh cinta, dapat secara spontan, mungkin tanpa sadar menganggap yang dicintainya serupa bunga. Tak mengandung otak dan hati pada sosoknya.
Sekali lagi, tulisan ini adalah efek negatif akibat kekurangan nikotin. Merokok membunuhmu, tercetak pada setiap kemasan sigaret. Hmm…tidak merokok membunuhku. Ah…dusta. Tak ada yang mampu membuatku kecanduan, selain cinta. Cie…cie… uhuk..uhuk…
*