Kulihat kau
sepanjang waktu, kupatahkan rindu yang melekat di tubuhku.
Adakah yang
lebih indah dari rasa bersalah hingga tak berdaya. Salahkah jika kurawat
perasaan yang membuat mataku basah. Pada saat rasa terindah memenuhi segenap
daya, membawaku terbang, melayang. Serupa sehelai daun yang telah cukup umur,
merah keemasan, ringan dan rapuh, sedang terjatuh. Sekilas menyentuh keningmu,
lanjut meluncur, melewati lututmu setelah nyaris terlena di pangkuanmu.
Akhirnya mendarat diam diam dekat kakimu, berbaring di atas tanah menanti
kaulangkahi.
Kau tak
tahu, alangkah mantap pijakan kakimu. Tanah menyerah, merentangkan tangannya
menyambutku, lantas mendekap erat dan hangat.
Tentu kau
tak perlu tahu, telah begitu lama aku menunggu. Mengamati kau dari ketinggian.
Berayun, menari, gemulai bersama angin. Diam diam, persis caraku terjatuh di
dekat kakimu. Kau tak akan tahu bedanya, sehelai daun kering sedang jatuh
cinta atau ribuan daun kering yang tak merasakan apa apa. Tidakkah itu indah? Sehelai
yang berserah di antara sekian banyak yang berserakan tanpa makna. Membuktikan
kalimat pujangga yang telah dinyatakan berabad abad silam, cinta cukup untuk
cinta.
Kau
tersenyum, entah untuk apa. Ketidaktahuan adalah jalan kebahagiaan. Dekapan
erat tanah, gemerisik suara suara, akhirnya aku buta. Seperti kata mereka, cinta
itu buta. Kemudian apa lagi? Musim akan berganti, pasti berganti. Suatu hari
kau akan kembali duduk di bawah naungan sebatang pohon, seperti hari ketika sehelai daun kering akhirnya terjatuh diam diam di
dekat kakimu.
Kulihat kau
sepanjang waktu, kebutaanku tak pernah berlalu*