Minggu, 25 Januari 2015

fitrah


Kulihat kau sepanjang waktu, kupatahkan rindu yang melekat di tubuhku.
Adakah yang lebih indah dari rasa bersalah hingga tak berdaya. Salahkah jika kurawat perasaan yang membuat mataku basah. Pada saat rasa terindah memenuhi segenap daya, membawaku terbang, melayang. Serupa sehelai daun yang telah cukup umur, merah keemasan, ringan dan rapuh, sedang terjatuh. Sekilas menyentuh keningmu, lanjut meluncur, melewati lututmu setelah nyaris terlena di pangkuanmu. Akhirnya mendarat diam diam dekat kakimu, berbaring di atas tanah menanti kaulangkahi.
Kau tak tahu, alangkah mantap pijakan kakimu. Tanah menyerah, merentangkan tangannya menyambutku, lantas mendekap erat dan hangat.
Tentu kau tak perlu tahu, telah begitu lama aku menunggu. Mengamati kau dari ketinggian. Berayun, menari, gemulai bersama angin. Diam diam, persis caraku terjatuh di dekat kakimu. Kau tak akan tahu bedanya, sehelai daun kering sedang jatuh cinta atau ribuan daun kering yang tak merasakan apa apa. Tidakkah itu indah? Sehelai yang berserah di antara sekian banyak yang berserakan tanpa makna. Membuktikan kalimat pujangga yang telah dinyatakan berabad abad silam, cinta cukup untuk cinta. 
Kau tersenyum, entah untuk apa. Ketidaktahuan adalah jalan kebahagiaan. Dekapan erat tanah, gemerisik suara suara, akhirnya aku buta. Seperti kata mereka, cinta itu buta. Kemudian apa lagi? Musim akan berganti, pasti berganti. Suatu hari kau akan kembali duduk di bawah naungan sebatang pohon, seperti hari ketika sehelai daun kering akhirnya terjatuh diam diam di dekat kakimu.
Kulihat kau sepanjang waktu, kebutaanku tak pernah berlalu*