Jumat, 11 Maret 2016

alarm



Teringat puisi, ingin kutuliskan kau lagi.
Teringat kau, aku lupa semua puisi yang pernah, yang ingin dan yang belum terpikir untuk kutuliskan kembali.
Kudongakkan kepala ke arah langit, langit tidak berwarna biru saat ini. Langit berwarna langit. Berawan putih, kusam, dan pucat.
Sesaat kemudian kutundukkan kepala, kutemukan sepasang kaki, lekat namun terasa asing, mestinya aku menahan diri dan tak berkata, ternyata aku tak bisa ke mana mana. Sepasang kaki mendengarku, dengan sepasang telinga yang seperti dua helai daun yang tumbuh pada sebongkah batu yang membebani tubuhku.
Sepasang mata  sepasang lengan berayun pelan di kedua sisi tubuhku, seperti waktu, ingatan atau kerinduan. Kau tidak meninggalkan kenangan, tidak menitipkan harapan. Ketika jalan bertemu langkahku, kau persimpangan lebih dari empat. Aku menunggu, menunggu lebih dari tiga cabang jalan kehilangan seseorang.
Aku menunggu, menunggu punggungku membelakangi tubuhku. Seperti sebuah sore mengacuhkan harinya sendiri. Seperti bayang dalam naungan keteduhan. Hilang.
Pada suatu hari atau seribu hari yang bermain sepanjang hari*