Teringat
puisi, ingin kutuliskan kau lagi.
Teringat
kau, aku lupa semua puisi yang pernah, yang ingin dan yang belum terpikir untuk
kutuliskan kembali.
Kudongakkan
kepala ke arah langit, langit tidak berwarna biru saat ini. Langit berwarna
langit. Berawan putih, kusam, dan pucat.
Sesaat
kemudian kutundukkan kepala, kutemukan sepasang kaki, lekat namun terasa asing,
mestinya aku menahan diri dan tak berkata, ternyata aku tak bisa ke mana mana.
Sepasang kaki mendengarku, dengan sepasang telinga yang seperti dua helai daun
yang tumbuh pada sebongkah batu yang membebani tubuhku.
Sepasang
mata sepasang lengan berayun pelan di
kedua sisi tubuhku, seperti waktu, ingatan atau kerinduan. Kau tidak
meninggalkan kenangan, tidak menitipkan harapan. Ketika jalan bertemu
langkahku, kau persimpangan lebih dari empat. Aku menunggu, menunggu lebih dari
tiga cabang jalan kehilangan seseorang.
Aku menunggu,
menunggu punggungku membelakangi tubuhku. Seperti sebuah sore mengacuhkan harinya
sendiri. Seperti bayang dalam naungan keteduhan. Hilang.
Pada suatu
hari atau seribu hari yang bermain sepanjang hari*